Kepala Departemen Perilaku Kesehatan, Lingkungan, dan Kedokteran Sosial FK-KMK UGM, Yayi Suryo Prabandari, kembali menyerukan urgensi penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) oleh pemerintah. Desakan ini menguat setelah DPR dan pemerintah sepakat untuk memasukkan kebijakan cukai MBDK ke dalam APBN 2026, yang merupakan hasil rapat kerja bersama pada Agustus 2025.
Menurut Yayi, langkah ini krusial untuk menekan lonjakan kasus diabetes di Indonesia yang sebagian besar dipicu oleh konsumsi MBDK. Minuman jenis ini dikenal memiliki kadar gula tinggi dan sangat mudah diakses oleh masyarakat. “Konsumsi gula masyarakat Indonesia sudah terlalu banyak,” tegasnya saat menyampaikan pandangannya di Yogyakarta, Minggu, 21 September 2025.
Kekhawatiran Yayi didukung oleh data Riskesdas 2023 Kementerian Kesehatan yang menunjukkan prevalensi diabetes telah mencapai angka 11,3 persen. Angka ini menandakan peningkatan signifikan dari tahun-tahun sebelumnya, menggarisbawahi betapa seriusnya masalah kesehatan ini. “Salah satu pemicunya adalah minuman berpemanis dalam kemasan dengan kadar gula tinggi dan harga murah,” tambahnya, menyoroti faktor aksesibilitas dan biaya yang terjangkau.
Yayi berkeyakinan bahwa kebijakan cukai akan menjadi instrumen efektif untuk mengendalikan konsumsi MBDK. Dengan naiknya harga minuman, masyarakat diharapkan akan lebih berpikir ulang sebelum membeli, sehingga secara bertahap menekan tingkat konsumsi. Keberhasilan strategi serupa telah terbukti di berbagai negara, dengan Australia menjadi salah satu contoh nyata yang berhasil menurunkan prevalensi diabetes melalui kebijakan ini.
Namun, di balik urgensi dan potensi keberhasilan tersebut, penerapan cukai MBDK masih menghadapi tantangan. Wacana kebijakan ini sejatinya telah bergulir sejak tahun 2016 namun hingga kini belum terealisasi. Yayi menduga adanya pertimbangan ekonomi serta tekanan kuat dari pihak industri. “Ada kemungkinan negosiasi dari perusahaan produsen minuman berpemanis. Mereka khawatir ketika cukai diterapkan, produksi ikut menurun,” jelasnya, menyoroti dilema antara kesehatan publik dan kepentingan ekonomi.
Meskipun demikian, Yayi menegaskan bahwa cukai tidak bisa menjadi satu-satunya solusi. Ia menekankan pentingnya edukasi publik secara berkelanjutan, baik melalui media massa, tenaga kesehatan, kader, maupun program pengabdian masyarakat. “Instrumen kebijakan efektif, tetapi akan lebih efektif bila disertai edukasi soal hidup sehat, pengurangan gula, serta dampak penyakit tidak menular seperti diabetes dan jantung,” pungkasnya, menyerukan pendekatan komprehensif untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat.