Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman baru-baru ini mengungkap temuan mengejutkan terkait praktik kecurangan dalam peredaran beras oplosan. Investigasi mendalam menemukan tingginya kadar beras patah (broken rice) pada produk yang seharusnya berkualitas premium, sebuah modus yang merugikan konsumen secara signifikan.
Dari sepuluh sampel beras premium medium yang diuji, terungkap bahwa kandungan beras patah mencapai angka yang mencengangkan, berkisar antara 30 hingga 59 persen. Angka ini jauh melampaui batas maksimal yang ditetapkan pemerintah untuk standar kualitas beras premium medium, yakni hanya 15 persen. “Aku bocorkan, ya. Kami ambil 10 (sampel), itu brokennya 30-59 persen,” terang Andi Amran dalam konferensi pers terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Nota Keuangan Tahun Anggaran 2026 di Jakarta pada Jumat, 12 Agustus 2025, seperti dilansir dari Antaranews.
Tingginya persentase beras patah ini jelas merupakan kerugian konsumen, yang membeli beras premium medium dengan ekspektasi kualitas tertentu namun menerima produk jauh di bawah standar. Amran bahkan menyebut temuan ini sebagai kondisi yang “ekstrem”, mengingat disparitas kualitas yang sangat mencolok pada produk yang seharusnya memenuhi kriteria kualitas beras premium.
Temuan ini bukan kali pertama Kementerian Pertanian (Kementan) menyoroti dugaan praktik manipulasi kualitas beras. Sebelumnya, Kementan telah mengestimasi kerugian fantastis mencapai Rp 99,35 triliun akibat modus serupa. Sebanyak 212 merek beras premium dan medium yang beredar luas di pasaran pun terbukti tidak memenuhi persyaratan pemerintah, memicu janji tindakan tegas dari kementerian.
Menanggapi serius permasalahan ini, Andi Amran menegaskan bahwa tindakan tegas terhadap peredaran beras oplosan bertujuan menciptakan ekosistem pasar yang lebih sehat dan berkeadilan. Salah satu dampak positif yang mulai terasa adalah peningkatan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional. Pasar ini kini menjadi pilihan menarik berkat harga beras yang lebih kompetitif dan transparansi kualitas. Sebagai perbandingan, harga beras premium di ritel modern berkisar Rp17.000-Rp18.000 per kilogram, sementara di pasar tradisional hanya Rp13.000 per kilogram.
Amran juga menjelaskan bahwa kasus beras oplosan ini terkuak berkat anomali harga beras yang terjadi beberapa bulan sebelumnya. Fenomena janggal muncul ketika harga beras di tingkat petani dan penggilingan justru menurun, namun di tingkat konsumen harga malah melonjak tidak wajar. “Harusnya kalau petani naik, baru bisa naik di tingkat konsumen,” jelas Amran. Merespons kondisi ini, Kementerian Pertanian segera melakukan pengecekan terhadap 268 merek beras di sepuluh provinsi penghasil beras terbesar di Indonesia.
Hasil pengecekan ini sungguh mengkhawatirkan: 85,56 persen beras premium yang diuji gagal memenuhi standar kualitas yang seharusnya. Lebih lanjut, 59,78 persen beras tidak mematuhi ketentuan Harga Eceran Tertinggi (HET), dan 78,14 persen bahkan tidak sesuai dengan berat kemasan yang tertera. Amran menguraikan, kecurangan ini beragam, mulai dari beras yang dioplos hingga beras curah yang dikemas ulang dan dijual dengan label premium.
Dalam sinergi penindakan, Kementerian Perdagangan turut melaporkan hasil pemeriksaan serupa, di mana sembilan dari sepuluh merek beras yang mereka uji juga tidak memenuhi standar. Kabar baiknya, sebagian besar produsen beras oplosan yang terlibat dalam praktik curang ini telah mengakui pelanggaran mereka. “Alhamdulillah, kemarin kami cek, merek yang sudah diumumkan itu sudah mulai sebagian menarik dan mengganti harganya sesuai standar dan kualitasnya sama,” ujar Amran, menunjukkan respons positif dari para pelanggar.
Dari 212 merek yang terbukti melanggar, 26 di antaranya telah diperiksa dan produsennya mengakui kesalahan. Namun, Amran mengakui bahwa tingkat ketidakpatuhan terhadap HET beras masih cukup tinggi. Untuk beras medium, angka ketidakpatuhan sedikit menurun dari 95 persen menjadi 91 persen. Sementara untuk beras premium, penurunan lebih signifikan, dari 60 persen menjadi 43 persen, menandakan perbaikan bertahap dalam kepatuhan kualitas beras di pasar.
Meski menghadapi tantangan ini, Amran optimis bahwa pemerintah memiliki stok beras yang cukup untuk menstabilkan pasar dan mengatasi dampak dari kasus beras oplosan. “Kalau stoknya 1 juta, pasti pemerintah tidak berani melakukan perbaikan. Tapi Alhamdulillah, stok kita cukup, sehingga kami perbaiki,” ungkapnya. Dengan pengawasan dan penindakan tegas, pemerintah berharap distribusi beras di Indonesia dapat menjadi lebih transparan, adil, serta pada akhirnya lebih menguntungkan konsumen, menjamin kualitas beras yang layak mereka terima.
Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor:
Ringkasan
Menteri Pertanian mengungkap temuan beras oplosan dengan kandungan beras patah (broken rice) mencapai 30-59%, jauh melebihi standar kualitas beras premium medium yang ditetapkan. Praktik ini merugikan konsumen karena membeli beras dengan kualitas di bawah standar. Kementerian Pertanian telah mengestimasi kerugian triliunan rupiah akibat manipulasi kualitas beras sebelumnya.
Pemerintah berupaya menindak tegas peredaran beras oplosan untuk menciptakan pasar yang lebih sehat. Hal ini diharapkan meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional dengan harga beras yang lebih kompetitif. Kementerian Pertanian dan Perdagangan bekerja sama melakukan pemeriksaan, dan sebagian produsen mengakui pelanggaran dan mulai melakukan perbaikan, meskipun masih ada tantangan dalam kepatuhan terhadap HET beras.