
mellydia.co.id – JAKARTA — Pergerakan saham di Indeks LQ45 selalu menjadi perhatian investor. Baru-baru ini, sejumlah saham prestisius di indeks tersebut menunjukkan valuasi yang lebih rendah dari rata-rata lima tahun terakhir. Pertanyaannya, bagaimana dengan prospek saham emiten perunggasan terkemuka seperti PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk. (CPIN) dan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk. (JPFA) di tengah kondisi pasar ini?
Mengacu pada data Bloomberg per Selasa (30/9/2025), saham CPIN menarik perhatian dengan valuasinya yang kini berada di level 20,45 kali, dihitung berdasarkan rasio price-to-earnings (P/E). Valuasi ini didasarkan pada harga saham perusahaan sebesar Rp4.680 per lembar. Menariknya, angka ini lebih rendah dibandingkan rata-rata valuasi CPIN dalam lima tahun terakhir yang mencapai 25,16 kali, mengindikasikan potensi daya tarik bagi investor yang mencari valuasi di bawah historis.
Di sisi lain, saham JPFA menunjukkan gambaran yang berbeda. Valuasi P/E JPFA tercatat 8,17 kali, dengan harga saham Rp1.960. Berlawanan dengan tren CPIN, valuasi ini justru sedikit lebih tinggi dari rata-rata lima tahunnya yang berada di angka 7,83 kali. Perbedaan ini memberikan perspektif yang berbeda bagi para pelaku pasar dalam menilai kedua raksasa industri perunggasan ini.
: Adu Prospek Cuan JPFA Vs CPIN di tengah Sentimen MBG Prabowo
Sebagai informasi, rasio P/E merupakan indikator krusial yang digunakan investor untuk mengevaluasi apakah harga saham suatu perusahaan wajar jika dibandingkan dengan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Secara umum, saham dengan valuasi rendah namun memiliki prospek pertumbuhan laba yang kuat di masa depan seringkali dianggap sebagai peluang untuk akumulasi. Hal ini karena potensi laba yang akan datang belum sepenuhnya tercermin dalam harga saham saat ini, membuka ruang untuk keuntungan di kemudian hari.
Kondisi valuasi emiten perunggasan ini selaras dengan proyeksi kalangan ekonom terkait inflasi September 2025. Para ekonom meramalkan adanya kenaikan inflasi secara moderat pada bulan tersebut, baik secara bulanan maupun tahunan, dengan inflasi harga daging ayam menjadi salah satu faktor penentu yang signifikan. Konsensus ini menunjukkan bahwa harga pangan, khususnya daging ayam, akan menjadi perhatian utama yang berpotensi mempengaruhi performa emiten terkait.
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri dijadwalkan akan mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) periode Agustus 2025 pada Rabu (1/10/2025). Berdasarkan kompilasi data dari Bloomberg, sebanyak 13 ekonom memproyeksikan median IHK pada September 2025 akan mengalami inflasi sebesar 0,10% secara bulanan (month-on-month/MoM). Proyeksi ini memberikan gambaran awal mengenai dinamika harga di tingkat konsumen.
Selain itu, tinjauan secara tahunan (year-on-year/YoY) oleh 26 ekonom menunjukkan median IHK pada September 2025 diperkirakan berada di zona inflasi 2,5%. Angka ini merupakan peningkatan moderat jika dibandingkan dengan realisasi inflasi Agustus 2025 yang tercatat sebesar 2,31% YoY. Kenaikan ini mengindikasikan adanya tekanan inflasi yang berkelanjutan dalam setahun terakhir.
Menanggapi proyeksi ini, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memperkirakan inflasi September 2025 akan mencapai 2,57% YoY dan 0,13% MoM. Menurut David, kenaikan inflasi ini sebagian besar dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan yang moderat. “Hampir semua bahan pangan harganya cenderung stabil—ada kenaikan di daging ayam dan cabe merah, tapi lainnya relatif stabil,” ungkap David kepada Bisnis pada Selasa (30/9/2025), menegaskan peran sentral komoditas ini dalam pembentukan inflasi.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Ringkasan
Artikel ini membahas valuasi saham CPIN dan JPFA di tengah pergerakan Indeks LQ45. CPIN memiliki valuasi P/E 20,45 kali, lebih rendah dari rata-rata lima tahun terakhir, sementara JPFA memiliki valuasi P/E 8,17 kali, sedikit lebih tinggi dari rata-rata lima tahunnya. Perbedaan ini memberikan perspektif berbeda bagi investor dalam menilai kedua emiten perunggasan tersebut.
Proyeksi inflasi September 2025 menunjukkan kenaikan moderat, baik secara bulanan maupun tahunan, dengan harga daging ayam menjadi faktor penentu signifikan. Ekonom memperkirakan inflasi akan dipengaruhi oleh kenaikan harga pangan, khususnya daging ayam, yang berpotensi mempengaruhi performa emiten perunggasan.



