Demam olahraga padel tengah melanda Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Data dari The International Padel Federation (FIP) menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat keenam sebagai negara dengan perkembangan padel tercepat di Asia Tenggara, serta peringkat ke-29 di dunia. Sebuah pencapaian yang menunjukkan betapa cepatnya olahraga ini digemari.
Sekilas mirip tenis, padel lahir di Acapulco, Meksiko, pada tahun 1969. Enrique Corcuera adalah sosok di balik penciptaan olahraga ini. Pada dekade 1970-an, padel mulai menyebar dan populer di Spanyol dan Argentina.
Perbedaan utama antara padel dan tenis terletak pada peralatannya. Raket padel tidak menggunakan senar, lapangannya lebih kecil, dan bolanya pun lebih ringan. Kombinasi ini membuat padel terasa lebih mudah dipelajari dan dimainkan, terutama bagi pemula.
Di Indonesia sendiri, padel mulai diperkenalkan pada akhir 2019 dan awal 2020. Para ekspatriat, pelajar, dan pekerja Indonesia yang pernah tinggal atau berinteraksi dengan padel di Eropa dan Amerika Latin menjadi pionirnya. Bona Palma, pendiri komunitas padel PAUD (Padel Aja Udah), mengungkapkan bahwa Bali menjadi pintu masuk pertama padel sebelum akhirnya booming di Jakarta.
“Awalnya PAUD hanya beranggotakan kurang dari 10 orang, sebagian besar dari industri kreatif yang mengenal padel dari kolega di Malaysia,” jelas Bona kepada DW Indonesia. Berawal dari sebuah grup WhatsApp, kini komunitas PAUD telah berkembang pesat dengan hampir 1.000 anggota.
Menurut Bona, fleksibilitas, kemudahan, kesenangan, dan manfaat kesehatan adalah faktor-faktor utama yang membuat padel begitu populer. Olahraga ini tidak hanya menyenangkan, tetapi juga efektif membakar kalori dalam waktu singkat. Lebih dari sekadar olahraga, padel telah menjadi bagian dari gaya hidup, tempat para pemain dapat menjalin pertemanan baru dan memperluas jaringan.
Memasyarakatkan olahraga Padel di Samarinda (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/YU)
Booming Padel di Negara Lain
Fenomena booming padel tidak hanya terjadi di Indonesia. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Jerman, dan Inggris juga mengalami hal serupa.
Data FIP per Juni 2025 mencatat Spanyol sebagai negara dengan jumlah lapangan padel terbanyak di dunia, yaitu 17.000 lapangan, diikuti oleh Italia dengan 10.017 lapangan. Laporan DW.com pada Desember 2024 menyoroti bagaimana padel telah menyelamatkan klub-klub tenis di Jerman yang sempat mengalami penurunan popularitas. Minat masyarakat yang tinggi terhadap padel memberikan angin segar bagi kelangsungan hidup klub-klub tersebut.
The Playtomic Global Padel Report, yang disusun oleh Playtomic dan unit usaha PwC, mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, sebanyak 3.282 klub padel baru dibuka di seluruh dunia, meningkat 22% dibandingkan tahun 2023. Jumlah lapangan padel secara global pada tahun 2024 melampaui 50.000 lapangan, naik 17% secara tahunan (year-on-year).
Laporan ini juga memprediksi bahwa jumlah lapangan padel yang akan dibangun hingga tahun 2027 akan mencapai 81.000 lapangan. “Apa yang kita lihat dengan perkembangan padel di Britania Raya merupakan fenomena sosial dan kultural yang menakjubkan,” ujar Pablo Carro, Co-founder dan CCO Playtomic, seperti dikutip thepadelpaper.com. Britania Raya menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan olahraga padel yang signifikan, dengan 329 lapangan baru pada tahun 2024.
The Playtomic Global Padel Report juga mencatat bahwa padel telah hadir di 90 negara di dunia. Beberapa negara dengan pertumbuhan tertinggi untuk olahraga ini antara lain Portugal, Belanda, AS, Britania Raya, Uni Emirat Arab, Meksiko, India, dan tentu saja, Indonesia.
Turnamen padel pertama di Bandung (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/tom.)
Banyak Perusahaan Operator Padel Bangkrut di Swedia
Namun, di balik tren global yang positif, olahraga padel menghadapi tantangan berat di Swedia. Laporan Bloomberg dan The Strait Times pada November 2024, yang mengutip data Creditsafe, menyebutkan bahwa 90 perusahaan operator padel di Swedia mengajukan kebangkrutan (pailit) pada tahun 2023.
Ribuan lapangan terpaksa ditutup setelah operator terpukul oleh tiga masalah utama: persaingan yang semakin ketat, inflasi yang melonjak, dan penurunan minat dari kelas menengah yang sebelumnya sangat antusias dengan olahraga ini.
“Begitu banyak hal yang salah,” kata Andreas Ehrnvall, seorang veteran olahraga di Swedia, seperti dikutip Bloomberg. “Negara ini dengan cepat berubah dari memiliki 300 lapangan padel menjadi 3.500. Itu tidak bisa dipertahankan.”
Padel, yang biasanya dimainkan secara ganda di lapangan tertutup berukuran 20m x 10m, awalnya tampak ideal untuk Swedia, negara dengan tradisi tenis yang kuat. Investor pun berbondong-bondong memanfaatkan peluang ini, termasuk kelompok ekuitas swasta Triton Partners dan bintang sepak bola Zlatan Ibrahimovic.
Jumlah lapangan padel di Swedia melonjak pesat antara tahun 2018 dan 2021, tetapi segera menjadi jelas bahwa ekspansi tersebut berlebihan. Ehrnvall, mantan pemain tenis profesional yang membantu memperkenalkan olahraga ini ke Swedia, melihat tanda-tanda masalah sejak awal.
Setelah menjalankan klub padel di kota Uppsala sejak 2012, ia merasa khawatir dengan perkembangan yang terlalu cepat, karena banyak orang hanya berusaha mencari keuntungan instan.
“Dalam satu tahun, Uppsala melonjak dari total 14 menjadi 100 lapangan. Di kota seukuran Uppsala, dengan sekitar 200.000 penduduk, hanya ada ruang untuk tidak lebih dari 20 lapangan,” kata Ehrnvall tentang ledakan tersebut.
Operator-operator kini menutup fasilitas mereka dengan sangat cepat. We Are Padel, bagian penting dari investasi firma ekuitas swasta Triton di olahraga ini, telah menutup sekitar 50 klub di Swedia, dan kini hanya memiliki 13 klub.
Perusahaan ini mencatat kerugian sebesar 716 juta kronor Swedia atau sekitar Rp 1,13 triliun pada tahun 2022. Perusahaan lain, PDL United, yang didukung oleh Coeli Private Equity, juga telah bangkrut.
Eno Polo, Chief Executive Officer dari grup padel Eropa Triton, LeDap, yang menaungi We Are Padel di Swedia, menggambarkan booming olahraga ini sebagai “demam emas” dan menarik paralel dengan gelembung properti yang terjadi baru-baru ini.
Ia menyebutkan bahwa banyak orang menginvestasikan uang mereka ke olahraga baru ini karena hambatan masuk yang rendah, sehingga memungkinkan banyak perusahaan untuk membuka usaha dengan cepat. Meskipun booming padel di Swedia awalnya menghasilkan keuntungan yang menarik, hal itu juga menyebabkan kelebihan pasokan yang besar dan akhirnya berujung pada kebangkrutan banyak perusahaan.