KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah menunjukkan tren pelemahan signifikan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa waktu terakhir, meskipun ada sedikit penguatan di pasar spot baru-baru ini.
Pada Rabu (24/9/2025), kurs rupiah di pasar spot sempat mencatat penguatan tipis sebesar 0,02%, mencapai level Rp 16.685 per dolar AS. Penguatan ini terjadi setelah rupiah mengalami pelemahan berturut-turut selama empat hari perdagangan sebelumnya, memberikan sedikit angin segar di tengah tekanan.
Kendati demikian, kinerja kurs rupiah Jisdor menunjukkan gambaran yang berbeda. Indeks ini justru melanjutkan tren penurunannya untuk hari perdagangan keenam berturut-turut, melemah 0,26% menjadi Rp 16.680 per dolar AS pada hari yang sama.
Menurut Global Market Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, tekanan yang menimpa rupiah ini bersumber dari dua faktor utama. Pertama, aksi profit taking investor di pasar Surat Utang Negara (SUN). Kedua, peningkatan kebutuhan dolar AS dari kalangan pelaku usaha domestik.
Myrdal menjelaskan bahwa pelemahan rupiah saat ini didorong oleh masifnya pembelian dolar oleh pelaku bisnis di Indonesia. “Terutama untuk pembayaran rutin akhir bulan, baik itu untuk kebutuhan bayar impor maupun juga pembayaran utang luar negeri,” ujarnya kepada Kontan pada Rabu (24/9). Fenomena ini menjadi pemicu utama mengapa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus menunjukkan tren pelemahan belakangan ini.
Lebih lanjut, Myrdal menambahkan, para investor memandang periode ini sebagai momentum terbaik untuk melakukan profit taking di pasar Indonesia. Persepsi ini semakin menguat setelah melihat selisih imbal hasil (yield) antara obligasi pemerintah dengan Amerika Serikat, khususnya untuk benchmark series tenor 10 tahun, berada di bawah 220 basis poin (bps) beberapa hari lalu. “Jadi mereka pandang yield obligasi kita kurang menarik,” tegas Myrdal, mengindikasikan bahwa daya tarik investasi di obligasi pemerintah Indonesia sempat menurun.
Dari perspektif fiskal, Myrdal menilai risiko sejauh ini masih tergolong terjaga. Namun demikian, pemerintah tetap disarankan untuk berhati-hati dalam mengelola kuota impor. Perhatian khusus perlu diberikan pada impor bahan bakar minyak (BBM) agar tidak melebihi target yang ditetapkan. Hal serupa juga berlaku untuk impor LPG 3 kg yang porsinya cukup besar, mengingat alokasi subsidi yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 80 triliun.
Seiring dengan pelemahan rupiah, persepsi risiko investasi Indonesia, yang diukur melalui Credit Default Swap (CDS) tenor lima tahun, juga mengalami kenaikan. Per 24 September 2025, level CDS Indonesia mencapai 82,17 bps, meningkat signifikan dari 70,17 bps pada 18 September 2025. Kenaikan ini menunjukkan adanya peningkatan kekhawatiran di kalangan investor global.
Myrdal menerangkan, tingginya level CDS tersebut merupakan akumulasi dari berbagai perkembangan domestik yang terjadi belakangan ini. Faktor-faktor tersebut meliputi perkembangan demonstrasi, isu pergantian Menteri Keuangan, hingga kebijakan moneter Bank Indonesia yang menurunkan suku bunga acuan. Kebijakan penurunan suku bunga ini turut menekan imbal hasil obligasi, menambah tekanan pada pasar keuangan.
Namun, Myrdal berpendapat bahwa level CDS 82 bps tersebut masih belum perlu dikhawatirkan secara berlebihan, karena angka tersebut masih di bawah ambang batas 100 bps. Ia menekankan, situasi baru akan menjadi perhatian serius jika tren kenaikan ini terus berlanjut tanpa henti.
“Secara fundamental domestik kita tidak ada masalah karena sedang berprogres,” ujar Myrdal, menegaskan bahwa landasan ekonomi Indonesia tetap solid. Ia menambahkan, jika ada aliran modal asing keluar, hal itu lebih merupakan bagian dari strategi profit taking biasa oleh investor.
Lebih lanjut, Myrdal mengamati bahwa tekanan jual dari investor asing di pasar obligasi mulai mereda. Peredaan ini terjadi khususnya setelah selisih imbal hasil (yield gap) untuk obligasi tenor 10 tahun kembali bergerak di atas 220 bps, menjadikannya lebih menarik bagi investor. Sementara itu, di pasar saham, tren capital inflow asing justru masih terus berlanjut, menunjukkan kepercayaan investor terhadap prospek pasar ekuitas Indonesia.
Ringkasan
Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan terhadap dolar AS, meskipun sempat menguat tipis di pasar spot. Pelemahan ini disebabkan oleh aksi profit taking investor di pasar Surat Utang Negara (SUN) dan peningkatan kebutuhan dolar AS oleh pelaku usaha domestik, terutama untuk pembayaran impor dan utang luar negeri. Para investor juga melihat selisih imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat kurang menarik.
Pemerintah disarankan untuk berhati-hati dalam mengelola kuota impor, khususnya BBM dan LPG 3 kg. Persepsi risiko investasi Indonesia, yang diukur melalui Credit Default Swap (CDS), juga mengalami kenaikan, meskipun masih di bawah ambang batas yang mengkhawatirkan. Secara fundamental, ekonomi Indonesia dinilai masih solid, dan tekanan jual dari investor asing di pasar obligasi mulai mereda.