Ketimpangan Daya Beli dan Ilusi Kelas Menengah dalam Fenomena Rojali dan Rohana

Posted on

Fenomena Rojali (rombongan jarang beli), Rohana (rombongan hanya nanya), dan Robeli (rombongan benar-benar beli) yang viral di media sosial telah membuka wawasan mendalam mengenai struktur sosial-ekonomi Indonesia kontemporer. Menurut Listya Endang Artiani, seorang dosen dan peneliti dari Universitas Islam Indonesia (UII), di balik tren digital yang memicu tawa ini tersimpan ironi yang tajam. “Pusat perbelanjaan yang ramai tidak selalu menjadi indikator kemakmuran, melainkan bisa jadi cerminan ketimpangan daya beli dan kerentanan ekonomi yang dialami oleh rumah tangga kelas menengah,” ungkap Listya dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Senin, 4 Agustus 2025.

Ketimpangan Daya Beli dan Ilusi Kelas Menengah dalam Fenomena Rojali dan Rohana

Dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII Yogyakarta ini menjelaskan bahwa mal kini telah melampaui perannya sebagai pusat perdagangan biasa. Mal telah bertransformasi menjadi ruang sosial-ekonomi multifungsi, tempat di mana individu tidak hanya berbelanja barang, tetapi juga mencari suasana, membangun citra diri, bahkan merasakan esensi modernitas. Listya mengamati bahwa banyak individu mengadopsi gaya hidup layaknya kelas atas sebagai bentuk representasi identitas sosial, bukan sebagai refleksi dari kekuatan finansial mereka yang sesungguhnya. Perilaku konsumsi yang didorong oleh aspirasi sosial semacam ini, bukan kemampuan riil, semakin diperkuat oleh kehadiran media sosial yang mendorong budaya performative consumption.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya sekitar 20 hingga 30 persen penduduk Indonesia yang secara objektif tergolong sebagai kelas menengah jika menggunakan indikator pengeluaran riil. Namun, survei persepsi dari berbagai lembaga riset justru memperlihatkan bahwa lebih dari 60 persen masyarakat mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari kelas menengah. Kesenjangan signifikan inilah yang Listya sebut sebagai middle-class illusion, sebuah kondisi ketika persepsi kelas tidak selaras dengan struktur pendapatan dan daya beli aktual. Ini pula yang menjelaskan mengapa pusat perbelanjaan tetap dipadati pengunjung, meskipun tingkat konsumsi atau pembelian riil hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari mereka yang benar-benar memiliki kemampuan finansial.

Menurut Listya, kehadiran Rojali dan Rohana di mal bukan semata karena pilihan pribadi, melainkan karena minimnya alternatif ruang publik yang gratis, nyaman, dan inklusif di kawasan urban. Mal lantas menjadi public sphere pengganti, sebuah tempat di mana masyarakat dapat merasa menjadi bagian dari modernitas dan komunitas, meskipun hanya dengan berjalan-jalan atau berfoto tanpa harus melakukan pembelian. Kondisi ini, kata pengajar Jurusan Ekonomi ini, juga secara gamblang memperlihatkan kelemahan dalam desain kebijakan makroekonomi yang terlalu berfokus pada stimulus konsumsi jangka pendek.

Program-program seperti festival belanja, diskon massal, atau subsidi harga, memang mampu menciptakan lonjakan konsumsi sesaat. Namun, intervensi tersebut tidak mampu menyelesaikan akar persoalan ketahanan ekonomi rumah tangga yang lebih mendalam. Listya menegaskan bahwa pertumbuhan konsumsi domestik yang sehat dan berkelanjutan hanya mungkin terwujud jika fondasi pendapatan masyarakat diperkuat secara fundamental. Ini mencakup implementasi kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif, penyediaan jaminan sosial yang komprehensif, serta pengendalian harga kebutuhan pokok yang stabil.

Oleh karena itu, fenomena Rojali dan Rohana perlu dimaknai sebagai gejala struktural yang kompleks, bukan sekadar kelucuan budaya digital. Fenomena ini adalah cerminan nyata dari ekonomi aspiratif yang rapuh, dan dari sebuah kelas menengah yang berjuang hidup di antara mimpi dan kenyataan finansial. “Tugas pemerintah, akademisi, dan pelaku industri adalah memahami dinamika ini secara komprehensif dan menyusun intervensi kebijakan yang tidak hanya responsif, tetapi juga transformatif, guna menciptakan masyarakat konsumsi yang lebih berdaya, setara, dan berkelanjutan,” tutupnya.

Pilihan Editor: Asal Usul Rojali, Rohana, dan Robeli: antara Lelucon Pop dan Gejala Sosial

Ringkasan

Fenomena Rojali, Rohana, dan Robeli mencerminkan struktur sosial-ekonomi Indonesia, khususnya ketimpangan daya beli di kalangan kelas menengah. Menurut Listya Endang Artiani dari UII, mal telah menjadi ruang sosial-ekonomi multifungsi, bukan hanya tempat berbelanja, dan banyak orang mengadopsi gaya hidup kelas atas sebagai representasi identitas sosial, yang diperkuat oleh media sosial.

Data BPS menunjukkan hanya 20-30% penduduk Indonesia termasuk kelas menengah berdasarkan pengeluaran riil, sementara survei persepsi menunjukkan lebih dari 60% masyarakat merasa demikian, menciptakan ilusi kelas menengah. Fenomena Rojali dan Rohana juga menunjukkan kurangnya ruang publik gratis dan inklusif, serta kelemahan kebijakan makroekonomi yang fokus pada stimulus konsumsi jangka pendek tanpa memperkuat fondasi pendapatan masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *