
BURSA Efek Indonesia mengumumkan hingga 24 Desember 2025 sudah ada 26 perusahaan yang mencatatkan saham (IPO) di bursa saham. Dari jumlah itu, emiten tercatat meraup dana Rp 18,1 triliun.
Dalam dokumen pipeline Bursa Efek Indonesia, saat ini ada sembilan perusahaan yang masuk antrean pencatatan saham di bursa. Dari jumlah itu, ada dua perusahaan beraset kecil atau di bawah Rp 50 miliar, satu aset berskala menengah atau Rp 50-250 miliar, dan enam beraset besar atau di atas Rp 250 miliar.
Bursa Efek Indonesia mencatat calon emiten tercatat itu terdiri dari dua sektor basic materials, satu perusahaan energy, tiga perusahaan financials, satu sektor industri, satu technology, dan satu transportation and logistic.
Pada Oktober 2025, Bursa Efek Indonesia merevisi target IPO dari 66 menjadi 45 perusahaan tahun ini. Ketika itu, Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman mengatakan BEI tidak mengejar kuantitas perusahaan untuk menggelar IPO.
Dia mengatakan fokus pada kualitas perusahaan yang melantai di bursa. Fokus itu tercermin dari lima perusahaan merupakan lighthouse IPO dari 23 perusahaan. Lighthouse merupakan kriteria IPO yang memiliki kapitalisasi pasar minimal Rp 3 triliun serta free float sebesar 15 persen atau kapitalisasi pasar free float lebih dari Rp 700 miliar.
“Tahun depan kami targetkan 50 IPO saham,” kata Iman dalam Konferensi Pers Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa BEI pada Rabu, 29 Oktober 2025.
Ekonom & Capital Market Specialist Lucky Bayu Purnomo mengatakan tahun ini pasar modal Indonesia sedang tertekan dengan tingginya suku bunga global dan preferensi investor ke instrumen berpendapatan tetap.
Kondisi ini membuat likuiditas, baik investor ritel maupun institusi domestik menjadi terbatas. Akibatnya, valuasi IPO tidak seatraktif periode sebelumnya. “Pasar modal Indonesia memang tengah menghadapi tekanan,” ujarnya.
Dari sisi regulasi, Lucky mengatakan, otoritas pasar modal kini semakin selektif dan menekankan pentingnya transparansi dan tata kelola perusahaan yang baik. Karena itu, banyak emiten yang perlu beradaptasi dengan standar pelaporan dan audit publik yang lebih ketat, sehingga proses IPO lebih panjang dan membutuhkan biaya lebih besar.
Meski demikian, Lucky menambahkan, kondisi ini wajar karena pemerintahan baru berjalan. Para pengusaha masih menunggu kebijakan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto, merancang strategi, dan arah aksi korporasi jangka panjang.
Lucky mengatakan perusahaan tampaknya sedang mematangkan strategi dan momentum pasar agar hasilnya optimal. Dalam jangka panjang, investor tetap memperhatikan fundamental kinerja IHSG sebagai barometer. “Banyak perusahaan tidak serta-merta menunda IPO karena pesimisme,” ujarnya.
Pilihan Editor: Mengapa Demutualisasi Bursa Efek Indonesia Perlu Dilakukan



