Kritik tajam dilontarkan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira terhadap pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Jumat, 15 Agustus 2025. Bhima Yudhistira secara spesifik menyoroti klaim Prabowo terkait penyerapan tenaga kerja sebanyak 1,2 juta orang dari realisasi investasi sebesar Rp 946 triliun pada semester I-2025.
Menurut Bhima, perbandingan historis menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam efektivitas investasi. Ia mengungkapkan, pada tahun 2015, setiap Rp 1 triliun investasi mampu menyerap hingga 2,6 juta tenaga kerja. Kontras dengan kondisi saat ini, Bhima menegaskan bahwa penurunan rasio investasi terhadap lapangan kerja mengindikasikan adanya kemerosotan dalam kualitas investasi. “Oleh karena itu, Prabowo dinilai kurang tepat jika hanya mengklaim total serapan kerja sebesar 1,2 juta orang, sementara indikator penting seperti rasio penyerapan tenaga kerja per rupiah investasi justru menunjukkan tren menurun,” jelas Bhima saat dihubungi pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Menanggapi fenomena ini, ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menawarkan sudut pandang yang berbeda. Ia menjelaskan bahwa kenaikan investasi yang tidak diiringi dengan peningkatan proporsional dalam penyerapan tenaga kerja per triliun rupiah disebabkan oleh pergeseran ekonomi ke arah sektor padat modal dan intensifikasi otomatisasi.
Syafruddin menguraikan, banyak perusahaan kini berinvestasi pada peralatan canggih yang mengurangi kebutuhan akan tenaga kerja manusia. Ia mencontohkan sektor-sektor seperti smelter, energi, data center, dan manufaktur berteknologi tinggi yang cenderung memerlukan modal besar untuk mesin dan perangkat, namun dengan jumlah pekerja yang relatif sedikit per unit pengeluaran. Selain itu, peningkatan produktivitas tenaga kerja memungkinkan tercapainya target produksi dengan jumlah karyawan yang lebih ramping. Faktor lain yang turut berkontribusi adalah ketidaksesuaian keterampilan (skill mismatch) antara kebutuhan industri modern dengan ketersediaan SDM, serta pergeseran dari proyek konstruksi berskala besar ke model operasi yang lebih efisien, yang secara keseluruhan menyebabkan rasio penyerapan kerja per rupiah investasi terlihat mengecil.
Sebelumnya, dalam pidatonya, Presiden Prabowo mengklaim pencapaian positif selama 299 hari masa kepemimpinannya, di antaranya pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,12 persen. Ia juga menekankan bahwa di tengah gejolak global, realisasi investasi pada semester I-2025 mencapai Rp 942 triliun, tumbuh 13,6 persen, dan mampu menyerap 1,2 juta tenaga kerja.
Ketua Umum Partai Gerindra tersebut turut menegaskan bahwa kekuatan suatu bangsa ditentukan oleh kapasitas negara dalam menguasai dan mengelola kekayaan sumber daya demi kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, Prabowo juga menyinggung isu kelangkaan minyak goreng yang pernah terjadi di negara produsen kelapa sawit terbesar dunia, menyebutnya sebagai hal yang “aneh sekali, tidak masuk di akal sehat,” dan mengindikasikan adanya permainan manipulasi yang ia istilahkan sebagai “Serakahnomics.”
Ringkasan
Direktur Celios, Bhima Yudhistira, mengkritik klaim Presiden Prabowo terkait penyerapan 1,2 juta tenaga kerja dari investasi Rp 946 triliun pada semester I-2025. Bhima menyoroti penurunan efektivitas investasi, dengan rasio penyerapan tenaga kerja per rupiah investasi yang menurun dibandingkan tahun 2015. Ia menilai klaim Prabowo kurang tepat karena indikator rasio penyerapan tenaga kerja justru menunjukkan tren yang menurun.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menjelaskan bahwa penurunan rasio tersebut disebabkan oleh pergeseran ekonomi ke sektor padat modal dan otomatisasi. Investasi lebih banyak dialokasikan pada peralatan canggih dan sektor berteknologi tinggi, sehingga mengurangi kebutuhan tenaga kerja. Selain itu, peningkatan produktivitas dan ketidaksesuaian keterampilan juga berkontribusi pada penurunan rasio penyerapan kerja per rupiah investasi.