DUA ekor siamang (Symphalangus syndactylus) bergelantungan di dahan pohon setinggi 20 meter, yang tumbuh di hutan lebat Batang Toru, Sibolga, Sumatera Utara, pada Kamis siang, 20 November 2025. Salah satu dari mereka menggendong anaknya, sementara yang lain tampak sedang memakan buah di pohon tersebut. Tak lama kemudian, beberapa primata lain juga terlihat bergelantungan sebelum kemudian lenyap di tengah lebatnya hutan.
Pemandangan itu bisa dilihat dengan teleskop ataupun teropong dari Stasiun Riset Bidang Lingkungan Hutan Tropis dan Keanekaragaman Hayati yang dibangun oleh PT Agincourt Resources (PTAR) di kawasan konservasi hutan Batang Toru. PTAR adalah perusahaan pengelola kawasan kontrak karya pertambangan emas Martabe seluas 130.252 hektare di Sibolga. Stasiun riset itu dikelola oleh Agincourt bersama para peneliti yang tergabung dalam Biodiversity Advisory Panel (BAP), entitas yang bertugas melakukan analisis atas perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati di wilayah pertambangan Martabe.
“Anda sangat beruntung bisa melihat mereka. Jarang sekali mereka bisa terlihat di siang hari,” kata anggota BAP Agincourt Resources, Sri Suci Utami Atmoko, kepada Tempo dan dua jurnalis lain yang mengunjungi stasiun riset Martabe. Suci, doktor dan pakar konservasi primata dari Universitas Nasional, Jakarta, bertanggung jawab di stasiun riset tersebut bersama beberapa ahli lain, antara lain Onrizal, doktor Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Menurut Onrizal, keberadaan siamang dan primata lain menandakan ekosistem hutan yang masih baik. Kondisi ini menjadi indikator perlindungan keanekaragaman hayati yang bersinggungan dengan kawasan pertambangan. Primata di sana, menurut dia, relatif “sejahtera” karena memiliki tempat hidup sekaligus pasokan pakan dari pepohonan yang tumbuh di sana. Salah satunya Shorea ovalis atau meranti, yang buah dan bijinya menjadi makanan primata di rimba Batang Toru.
Orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Wikipedia.org
Selain sebagai tempat hidup siamang, Batang Toru menjadi rumah bagi primata lain, seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), cek-cek (Presbytis Sumatrana), dan orang utan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Jenis yang terakhir, kata Suci, termasuk hewan langka yang dilindungi dengan status critically endangered atau terancam punah. “Mereka adalah spesies endemik hutan ini yang populasinya paling sedikit dibanding orang utan jenis lain,” ujarnya.
Menurut Suci, populasi orang utan Tapanuli di Batang Toru tersisa 17 ekor. Karena itu, keberadaan stasiun riset yang diisi para biolog dari berbagai kampus dan relawan warga lokal menjadi penting. Baik untuk penelitian, pemantauan, maupun perlindungan satwa-satwa langka, seperti orang utan Tapanuli.
Proyek Riset Miliaran Rupiah
Stasiun Riset Keanekaragaman Hayati Martabe beroperasi sejak Februari 2025. Fasilitas ini terdiri atas bangunan dua tingkat, yaitu ruang utama, beberapa kamar, dan laboratorium. Stasiun tersebut berdiri di atas lahan kurang-lebih 500 meter persegi, dilengkapi dengan menara pemantau dan sejumlah kamera untuk menangkap pergerakan satwa di rimba Batang Toru. Pembangunannya menelan biaya Rp 10 miliar, belum termasuk biaya operasi tahunan.
Menurut Wakil Presiden Direktur PTAR Ruli Tanio, stasiun riset ini merupakan salah satu inisiatif strategis dan komitmen perusahaan untuk mendukung kemajuan ilmu pengetahuan serta memperkuat upaya konservasi di tengah aktivitas pertambangan. “Melalui langkah ini, PTAR menegaskan posisi sebagai perusahaan yang bertanggung jawab, visioner, dan berorientasi pada keberlanjutan,” tuturnya ketika ditemui di Kompleks Pertambangan Martabe.
PTAR mengoperasikan tambang seluas 635 hektare yang diperkirakan memiliki cadangan 6,1 juta ounce emas dan 59 juta ounce perak. Tambang ini merupakan bagian dari konsesi kontrak karya seluas 130.252 hektare yang dipegang PTAR, bagian dari grup Astra International. Selain tiga tambang emas, PTAR memiliki fasilitas pengolahan mineral di Kompleks Martabe dengan kapasitas produksi 7 juta ton per tahun untuk menghasilkan 200 ribu ounce emas dan 2 juta ounce perak per tahun.
Kawasan pertambangan inilah yang berada dekat dengan hutan Batang Toru, yang menjadi kawasan konservasi orang utan dan fauna lain. Pada Februari 2025, Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi bersama Satya Bumi dan organisasi lain yang tergabung dalam Aliansi Tolak Tambang Martabe (Lantam) mengumpulkan petisi, menolak ekspansi tambang Martabe.
Ketika itu Direktur Walhi Sumatera Utara Rianda Purba menyatakan kekhawatiran atas dampak lingkungan di ekosistem Batang Toru akibat perluasan tambang emas Martabe. Menurut pantauan Walhi, dalam 15 tahun terakhir, deforestasi telah meluas hingga lebih dari 114 hektare di sekitar tambang itu. “Tambang emas Martabe terletak di jantung ekosistem Batang Toru, yang merupakan habitat terakhir orang utan Tapanuli,” katanya pada 27 Februari 2025. Para aktivis juga mempersoalkan rencana PTAR membuka lokasi pembuangan material sisa tambang atau tailing, yang akan menambah dampak buruk pada ekosistem Batang Toru.
Soal penolakan tersebut, Ruli Tanio mengakui bahwa selama ini aktivitas pertambangan sering dipandang sebagai “perusak lingkungan” dan mengancam kelestarian ekosistem hutan. Padahal, kata dia, PTAR sudah mengupayakan berbagai strategi, termasuk menetapkan kawasan konservasi yang jauh lebih luas dari area tambang demi menjamin kelestarian lingkungan di sekitarnya. Termasuk melalui kerja sama dengan para ahli dalam BAP, yang menjadi mekanisme kontrol perusahaan dalam kegiatan operasi sehari-hari. BAP, menurut Ruli, memberi jalan tengah agar operasi tambang selaras dengan aspek-aspek perlindungan lingkungan.
Ruli mencontohkan peran BAP dalam menentukan area pembuangan material sisa tambang atau tailing. Semula, PTAR memilih area di kawasan timur kompleks tambang sebagai sarana penampungan tailing padat, dengan pertimbangan dekat dengan kawasan tambang. “Biaya pengangkutan material pun lebih murah,” ujarnya. Namun para ahli dalam BAP melarang upaya tersebut karena kawasan timur merupakan hutan yang padat dengan populasi satwa ataupun vegetasi langka. PTAR kemudian mengubah rencana dengan menetapkan kawasan penampungan tailing baru yang jaraknya jauh dari tambang. “Kami tetap memilih itu meski biayanya tinggi.”
Saat ini PT Agincourt Resources menetapkan 2.000 hektare wilayah dalam kontrak karya sebagai kawasan biodiversity refugia yang akan dikelola secara aktif dalam jangka panjang. Kawasan ini berfungsi sebagai zona penyangga penting dan koridor ekologis yang mendukung keberlangsungan satwa liar, termasuk primata langka. Proyek lain yang digarap PTAR adalah nursery atau fasilitas penyemaian bibit tanaman. Nantinya, kata Ruli, tanaman-tanaman ini akan dipakai untuk merehabilitasi lahan bekas tambang. “Setelah operasi tambang berakhir, mungkin satu dekade lagi, kawasan ini akan kembali menjadi hutan,” kata Ruli.
Pilihan Editor: Cara Menyelamatkan Orang Utan Tapanuli di Batang Toru


