KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali menghadapi tekanan signifikan, mencatatkan pelemahan pada perdagangan Rabu (12/11/2025). Mata uang Garuda bahkan sempat menyentuh level kritis Rp16.722 per dolar Amerika Serikat (AS). Hingga pukul 14.52 WIB pada hari yang sama, rupiah tercatat melemah 0,13%, berada di posisi Rp16.715 per dolar AS.
Pergerakan pelemahan ini tak lepas dari momentum penguatan dolar AS yang berkelanjutan serta meningkatnya ketidakpastian di kancah global.
Menanggapi situasi ini, Pengamat Pasar Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, menilai bahwa pelemahan rupiah masih berada dalam koridor yang wajar. Menurutnya, tren penguatan dolar AS sudah terlihat jelas sejak awal pekan dan terus berlanjut. “Pelemahan rupiah ini wajar karena dolar terus menguat. Dari hari Senin sudah terlihat tren pelemahan, dan itu masih berlanjut,” ungkap Ibrahim kepada Kontan, Rabu (12/11/2025).
Ibrahim lebih lanjut menjelaskan bahwa salah satu sentimen eksternal yang turut membayangi pasar adalah pernyataan kontroversial Jaksa Agung AS. Pernyataan tersebut menyebutkan bahwa kebijakan perang dagang yang digagas Presiden Donald Trump terhadap sejumlah negara bersifat inkonstitusional, lantaran penggunaan undang-undang darurat tanpa persetujuan Kongres. “Pernyataan itu bisa berdampak panjang karena kemungkinan baru diputuskan pada awal 2026. Hal ini menambah ketidakpastian kebijakan perdagangan AS,” tambahnya, menyoroti potensi volatilitas jangka panjang.
Selain itu, penutupan sementara atau shutdown pemerintahan federal AS yang berlangsung hingga 41 hari juga turut membebani sentimen pasar. Meskipun pemerintahan AS diperkirakan akan kembali beroperasi pada Kamis (13/11/2025), proyeksi rilis data tenaga kerja AS yang menunjukkan kenaikan tingkat pengangguran justru memberikan dorongan lebih lanjut bagi penguatan dolar. “Data pengangguran yang naik bisa membuat dolar semakin kuat, karena pasar melihat tekanan ekonomi AS akan tetap tinggi,” ujarnya, menjelaskan korelasi antara data ekonomi dan kekuatan mata uang.
Di samping faktor-faktor dari Amerika Serikat, ketegangan geopolitik yang terus memanas antara Rusia dan Ukraina turut memperburuk suasana pasar global. “Rusia terus melakukan ekspansi wilayah dan serangan sporadis, sementara negara-negara Barat masih memberi sanksi ekonomi. Ini menambah tekanan pada aset berisiko seperti rupiah,” jelas Ibrahim, menekankan dampak konflik global terhadap stabilitas nilai tukar.
Dari internal negeri, fundamental ekonomi Indonesia sejatinya masih menunjukkan performa yang cukup solid. Hal ini tercermin dari data keyakinan konsumen yang stabil, neraca perdagangan yang positif, serta pertumbuhan ekonomi yang konsisten di angka 5,04%. Kendati demikian, kinerja fundamental ini belum cukup kuat untuk menahan laju pelemahan nilai tukar rupiah di tengah gempuran sentimen eksternal yang masif.
“Bank Indonesia sudah berupaya maksimal melakukan intervensi di pasar domestik dan internasional, tapi penguatan indeks dolar masih terlalu kuat. Karena itu, pelemahan rupiah belum bisa sepenuhnya tertahan,” papar Ibrahim, menyoroti keterbatasan intervensi BI dalam menghadapi dominasi dolar AS.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor tersebut, Ibrahim memperkirakan bahwa rupiah masih berpotensi melemah hingga akhir pekan ini, terutama seiring dengan rilisnya data tenaga kerja AS. Ia juga menekankan pentingnya koordinasi yang erat antara Bank Indonesia dan pemerintah untuk menjaga stabilitas nilai tukar. “BI harus tetap intervensi di pasar, sementara pemerintah bisa memperkuat kebijakan fiskal dan stimulus ekonomi agar sentimen tetap terjaga,” pungkasnya, memberikan rekomendasi strategis untuk menghadapi tantangan ekonomi ini.
Ringkasan
Rupiah mengalami pelemahan signifikan hingga menyentuh Rp16.722 per dolar AS, tertekan oleh penguatan dolar AS dan ketidakpastian global. Pengamat menilai pelemahan ini wajar karena tren penguatan dolar yang berkelanjutan sejak awal pekan. Sentimen eksternal seperti pernyataan kontroversial Jaksa Agung AS terkait kebijakan perdagangan era Trump dan penutupan pemerintahan AS turut membebani.
Selain itu, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina memperburuk suasana pasar, meski fundamental ekonomi Indonesia masih cukup solid. Intervensi Bank Indonesia belum sepenuhnya mampu menahan pelemahan rupiah akibat kuatnya indeks dolar AS. Koordinasi antara BI dan pemerintah diperlukan untuk menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi pasar dan penguatan kebijakan fiskal.



