Thrifting Makin Gila! INDEF Ungkap Biang Keroknya!

Posted on

Tingginya animo masyarakat terhadap kegiatan belanja pakaian bekas atau thrifting ternyata menyimpan dilema ekonomi yang mendalam. Menurut Esther Sri Astuti, Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), fenomena ini utamanya dipicu oleh keinginan kuat masyarakat akan barang bermerek yang kerap dikaitkan dengan peningkatan status sosial, namun terhambat oleh keterbatasan dana. “Perilaku memakai barang-barang branded kerap kali dikaitkan dengan naiknya status sosial,” ungkap Esther dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu, 8 November 2025.

Tidak mengherankan jika aktivitas thrifting begitu diminati. Masyarakat dapat memperoleh pakaian bekas bermerek dengan harga yang jauh lebih terjangkau, membuka peluang bagi banyak pelaku bisnis untuk memanfaatkan antusiasme ini. Bisnis jual beli pakaian bekas bahkan dianggap sangat menggiurkan bagi para pedagang. Esther menambahkan, potensi keuntungan yang bisa diraup pedagang mencapai tiga kali lipat atau bahkan lebih. Observasi lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar pedagang mengaku telah mencapai balik modal hanya dengan menjual 20 persen dari ratusan stok pakaian bekas yang mereka miliki.

Namun, di balik geliat bisnis dan tingginya antusiasme masyarakat, ada dampak serius yang mengancam perekonomian nasional. Peningkatan tajam volume impor pakaian bekas akibat lonjakan permintaan ini secara signifikan merugikan Indonesia. Esther Sri Astuti, yang juga Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Diponegoro, menegaskan bahwa impor pakaian bekas telah menggerus hingga 15 persen pangsa pasar produsen tekstil dalam negeri.

Lebih lanjut, Esther menjelaskan bahwa impor pakaian bekas ke Indonesia tidak dikenai bea dan cukai, menjadikannya aktivitas penyelundupan pakaian bekas yang merugikan negara. Pemerintah sendiri mengategorikan impor barang ini sebagai kegiatan ilegal, yang secara eksplisit dilarang melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Apabila pemerintah bertindak tegas menindak penyelundupan pakaian bekas ke Indonesia, para pedagang dan importir diperkirakan akan menderita kerugian hingga miliaran rupiah. Kendati demikian, Esther mengingatkan bahwa potensi kerugian bagi pedagang dan importir barang bekas tidaklah sebanding dengan dampak buruk yang ditanggung negara dari sisi penerimaan, kesehatan, dan lingkungan.

Dampak sosial dari banjirnya impor pakaian bekas juga sangat terasa. Diperkirakan ada 520 ribu pekerja yang menggantungkan nasibnya pada industri tekstil di Indonesia. Para pekerja tekstil domestik ini pasti terdampak serius oleh tren penjualan produk tekstil dalam negeri yang menurun drastis akibat persaingan dengan pakaian bekas impor.

Melihat kondisi ini, Esther menilai bahwa banjir impor pakaian bekas merupakan bukti nyata lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan Indonesia. Ia menyarankan pemerintah untuk melakukan pelacakan mendalam terhadap para aktor importir pakaian bekas, sebuah pendekatan yang disebut sebagai “follow the actor”. Selain itu, Esther menekankan perlunya upaya serius untuk mendeteksi potensi manipulasi kode Harmonized System (HS) guna menghindari celah legalitas impor.

Untuk mencegah masuknya pakaian bekas impor, Esther juga mendorong penghentian sementara izin impor Angka Pengenal Impor Umum (APU). Ia berpendapat, pemerintah sebaiknya memprioritaskan izin impor Angka Pengenal Impor Produsen (API-P), yang hanya diberikan kepada perusahaan yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi, demi melindungi industri domestik.

M. Faiz Zaki berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan Editor: Dilema Bisnis Thrifting Pakaian Bekas

Ringkasan

Menurut INDEF, tingginya minat thrifting dipicu keinginan masyarakat akan barang bermerek untuk meningkatkan status sosial, namun terkendala dana. Bisnis pakaian bekas menarik karena pedagang bisa meraih keuntungan hingga tiga kali lipat, bahkan balik modal hanya dengan menjual sebagian kecil stok.

Lonjakan impor pakaian bekas merugikan produsen tekstil dalam negeri hingga 15% dan dianggap ilegal karena melanggar Permendag serta tidak dikenakan bea dan cukai. Kondisi ini juga mengancam nasib ratusan ribu pekerja industri tekstil, sehingga pengawasan perbatasan dan pelacakan importir sangat diperlukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *