Minggu balapan seri ke-20 MotoGP Malaysia 2025 di Sirkuit Sepang tidak hanya membawa hasil mengecewakan bagi pembalap Ducati Lenovo, Francesco Bagnaia, tetapi juga menyisakan keprihatinan mendalam yang jauh melampaui performa di lintasan.
Juara Dunia MotoGP dua kali itu memang melewati akhir pekan yang penuh gejolak. Setelah gagal langsung lolos ke Kualifikasi 2 pada Jumat, ia bangkit luar biasa dengan meraih pole position dan mendominasi sesi Sprint pada Sabtu. Sayangnya, harapan untuk kemenangan ganda sirna pada balapan utama hari Minggu, ketika insiden ban bocor memaksanya gagal finis.
Peruntungan Bagnaia di musim ini seolah belum sepenuhnya berpihak. Kemenangan sebelumnya di Jepang pun diwarnai kepulan asap dari knalpot motornya, dan setelah itu, ia tak pernah menyelesaikan tiga balapan hari Minggu berikutnya. “Saya mulai berpikir bahwa saya beruntung di Motegi, setidaknya masalahnya tidak menghentikan saya,” ujar Bagnaia sambil terkekeh, seperti dilansir dari GPone.com. Ia menambahkan, “Ada pembalap lain yang lebih kurang beruntung daripada saya, seperti (Jorge) Martin, jadi itu bukan masalah sebenarnya.”
Namun, di balik kegagalan finis dan rentetan nasib kurang baik, Bagnaia menyimpan kekhawatiran yang jauh lebih besar. Alih-alih meratapi balapannya sendiri, pembalap Italia ini justru menyoroti sejumlah kontroversi serius yang mewarnai akhir pekan MotoGP Malaysia di Negeri Jiran tersebut.
Kritik pertama Bagnaia tertuju pada keputusan untuk tetap melanjutkan balapan Moto3 setelah insiden mengerikan yang membuat dua pembalap muda harus dilarikan ke rumah sakit tanpa kejelasan kondisi. Kecelakaan fatal itu terjadi saat lap pengamatan, ketika Noah Dettwiler (CIP) ditabrak keras dari belakang oleh Jose Antonio Rueda (KTM Ajo).
Helikopter medis bahkan harus mendarat di tengah lintasan, menunda pertolongan pertama selama hampir satu jam. Kondisi kedua pembalap baru diketahui setelah balapan berakhir, menambah ketegangan dan kekhawatiran di paddock. “Untungnya, saya bukan orang yang harus mengambil keputusan seperti ini. Saya pikir beberapa keputusan dibuat dengan cara yang tidak akan saya lakukan,” tukas Bagnaia dengan nada prihatin.
“Untuk membiarkan para pembalap semuda mereka untuk berlomba 10 lap dengan kondisi itu, setelah melihat helikopter terbang dengan dua di antara mereka, itu bukan ide bagus. Saya tidak akan pernah memahaminya,” tegas Bagnaia, mempertanyakan kebijakan penyelenggara.
Menurut Bagnaia, kecelakaan antara Dettwiler dan Rueda seharusnya bisa dicegah jika sesi pemanasan tidak ditiadakan di kelas-kelas seperti Moto3. Ia menjelaskan bahwa sejak 2023, sesi latihan bebas terakhir pada Minggu pagi hanya dikhususkan untuk kelas MotoGP, demi memberi ruang pada acara parade pembalap. Hal ini menyebabkan pembalap kelas ringan kehilangan kesempatan untuk memastikan kondisi motor mereka.
Diduga, masalah teknis pada motor Dettwiler saat melaju pelan menjadi pemicu utama petaka, yang membuat rider asal Swiss itu mengalami fase kritis, bahkan sempat dikabarkan mengalami henti jantung. “Dengan adanya pemanasan, kami tidak perlu melakukan dua hot lap (pengamatan) itu untuk melihat apakah semuanya bekerja dengan baik,” jelas Bagnaia.
Keputusan Dorna Sports dan Federasi Motor Internasional (FIM) untuk melanjutkan balapan setelah insiden yang mengancam nyawa ini bukanlah yang pertama kali dikritik. Sebelumnya, mereka juga menuai kecaman saat seri JuniorGP di Magny-Cours, di mana akhir pekan balapan tetap dilanjutkan setelah insiden tragis yang merenggut nyawa pada sesi latihan bebas.
Selain isu keselamatan, Bagnaia juga mengungkapkan kekesalannya atas perilisan video dokumenter terkait ‘Sepang Clash‘ sehari sebelum seri GP Malaysia dimulai. Dokumenter ini secara tak terhindarkan menyeret Bagnaia ke dalam pusaran kontroversi antara mentornya, Valentino Rossi, dan rekan setimnya saat ini, Marc Marquez.
Dalam cuplikan tersebut, Bagnaia terlihat bertepuk tangan di garasi Rossi ketika Marquez terjatuh setelah diadang mentornya, memicu sorotan negatif di media sosial. Lebih ironis lagi, video ‘Sepang Clash‘ ini dirilis pada 23 Oktober, bertepatan dengan peringatan meninggalnya legenda Marco Simoncelli di trek yang sama pada tahun 2011, sementara insiden Sepang Clash sendiri terjadi pada 25 Oktober 2015.
“Bahkan ide merilis dokumenter, kalau kita bisa menyebutnya itu, tentang 2015, menurut saya tidak sangat bagus,” ucap Bagnaia, yang saat itu masih berlaga di Moto3. Ia menambahkan, “Tokoh-tokohnya digambarkan dengan cara sedikit menyimpang, saya tidak ingin membahasnya, tetapi itu tidak pantas. Apalagi untuk melakukannya pada hari seperti Kamis kemarin, peringatan Sic (kematian Marco Simoncelli, red).”
Bagnaia sendiri mengaku diminta terlibat dalam pembuatan video itu pada awal tahun ini, namun ia menolak. Ia juga menyindir keputusan untuk menghadirkan narasumber yang terkesan dipaksakan. “Mereka memasukkan Andrea Dovizioso yang mengatakan tidak mengingat apa-apa, bahkan Ayumu Sasaki yang tidak bisa melakukan apa-apa, kasihan mereka,” tukas Bagnaia, menunjukkan rasa frustrasinya.
Dengan serangkaian kejadian di Sirkuit Sepang, mulai dari insiden ban bocor yang menghentikan lajunya hingga kritik tajamnya terhadap keputusan penyelenggara mengenai keselamatan pembalap dan perilisan dokumenter kontroversial, Francesco Bagnaia menunjukkan bahwa ada hal-hal yang jauh lebih penting dari sekadar hasil balapan. Suaranya menjadi representasi keprihatinan yang mendalam di kalangan pembalap akan integritas dan keamanan olahraga ini.
Ringkasan
Francesco Bagnaia mengungkapkan keprihatinannya terkait beberapa isu krusial di MotoGP, di luar performanya yang kurang memuaskan di MotoGP Malaysia. Ia menyoroti keputusan melanjutkan balapan Moto3 setelah insiden yang melibatkan dua pembalap muda, mengkritik ketiadaan sesi pemanasan yang bisa mencegah masalah teknis pada motor.
Selain masalah keselamatan, Bagnaia juga menyayangkan perilisan dokumenter ‘Sepang Clash’ yang dinilai tidak pantas, terutama karena bertepatan dengan peringatan meninggalnya Marco Simoncelli. Ia merasa tokoh-tokoh dalam dokumenter itu digambarkan dengan cara yang menyimpang dan menyayangkan kehadiran narasumber yang terkesan dipaksakan.



