Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 sebesar 5,12 persen, angka yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), telah memicu kontroversi. Angka ini, meskipun menunjukkan peningkatan signifikan dari 4,87 persen pada kuartal I, dipertanyakan oleh sejumlah ekonom dan lembaga riset, menimbulkan keraguan akan kredibilitas data BPS. Universitas Paramadina, misalnya, secara terbuka meminta BPS untuk memberikan penjelasan yang transparan.
Universitas Paramadina mendesak BPS untuk membuka tiga hal krusial kepada publik: metodologi dan asumsi perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB), termasuk sumber data, pembobotan sektor, dan metode estimasi yang dapat diverifikasi; penjelasan mengenai disparitas antara data pertumbuhan ekonomi versi BPS dan indikator ekonomi sektoral yang menunjukkan pelambatan; dan komitmen BPS untuk menjaga independensi penuh dari tekanan eksternal. Universitas tersebut menekankan bahwa revisi data merupakan hal yang wajar dalam konteks akademis dan teknokratis, namun menutup diri justru akan berdampak buruk pada kredibilitas BPS dan menggeser statistik dari ranah akademis ke ranah politik.
Sentimen serupa juga diutarakan oleh Center of Economic and Law Studies (Celios), yang bahkan telah mengirimkan surat permohonan penyelidikan kepada United Nations Statistic Division dan United Nations Statistical Commision. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, mengungkapkan ketidaksesuaian data BPS dengan indikator lain, seperti Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur yang menunjukkan kontraksi, sementara BPS melaporkan pertumbuhan sektor tersebut sebesar 5,68 persen. Transparansi, tegas Bhima, menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan atas inkonsistensi data tersebut.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) turut menyuarakan keraguan. Ekonom senior Indef, M. Fadhil Hasan, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi 5,12 persen melebihi prediksi banyak pihak dan bertentangan dengan 12 indikator ekonomi yang menunjukkan pelemahan pada semester pertama 2025. Prediksi para ekonom, menurut Hasan, umumnya hanya memiliki sedikit perbedaan dengan realisasi ekonomi, membuat angka 5,12 persen tampak anomali.
Menanggapi kontroversi ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto membantah adanya manipulasi data, menunjuk pada pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang tinggi sebagai bukti. Namun, hingga berita ini diturunkan, upaya Tempo untuk mendapatkan tanggapan dari Wakil Kepala BPS Sonny Harry Harmadi dan Unit Kerja Kepala Statistik Bidang Media dan Komunikasi BPS Eko Rahmadian belum membuahkan hasil.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Jika Data BPS Tak Bisa Dipercaya
Ringkasan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,12% pada kuartal II 2025 yang diumumkan BPS dipertanyakan beberapa pihak, termasuk Universitas Paramadina dan Celios. Mereka meminta transparansi dari BPS mengenai metodologi perhitungan PDB, disparitas data dengan indikator sektoral lain, dan jaminan independensi BPS dari tekanan eksternal. Ketidaksesuaian data BPS dengan indikator lain seperti PMI manufaktur juga menjadi sorotan.
Indef juga meragukan angka tersebut karena bertentangan dengan prediksi ekonom dan indikator ekonomi lainnya. Meskipun Menteri Koordinator Bidang Perekonomian membantah manipulasi data, upaya konfirmasi kepada BPS belum membuahkan hasil. Transparansi data menjadi kunci untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap kredibilitas data BPS.