Rencana pemerintah untuk mendorong bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menaikkan bunga deposito valuta asing (valas) telah memicu perdebatan sengit di kalangan ekonom. Kebijakan ini, yang dirancang untuk menarik aliran modal masuk, berpotensi menimbulkan konsekuensi jangka panjang jika tidak diimbangi dengan upaya menciptakan aset dolar yang produktif.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, melalui laporan Infopublik.id, memperingatkan bahwa imbal hasil deposito dolar yang lebih tinggi tidak serta merta akan mendatangkan modal asing. Sebaliknya, ia memprediksi efek awal yang mungkin terjadi adalah pergeseran modal domestik, di mana para deposan dalam negeri mengalihkan simpanan rupiah mereka ke dolar.
“Efek pertama justru bisa shifting domestik, di mana deposan dalam negeri mengalihkan rupiah ke dolar. Bank memang mendapat tambahan funding dalam USD, tapi hanya di sisi kewajiban. Kita menambah liabilitas dolar, tanpa menciptakan kapasitas produktif atau cadangan devisa riil,” jelasnya pada Senin (29/9/2025). Menurut Fakhrul, langkah ini justru dapat memperbesar permintaan dolar domestik tanpa adanya prospek penerimaan dolar baru yang substansial.
Situasi ini menimbulkan apa yang disebut Fakhrul sebagai masalah kelangkaan aset dolar. “Kalau tidak ada instrumen kredit atau obligasi dolar yang menyerap likuiditas tersebut, maka pembayaran bunga dolar di masa depan akan semakin besar. Inilah yang kami sebut masalah kelangkaan aset dolar,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang sempat menyentuh Rp 16.700 per dolar AS beberapa waktu lalu juga sebagian dipicu oleh faktor ini. “Kita akan butuh lebih banyak dolar di masa depan hanya untuk membayar bunga, sementara sumber devisa riil tidak bertambah,” kata Fakhrul.
Rupiah Terkapar, Ini 3 Jurus Strategis untuk Menguatkan Kembali Menurut Ekonom
Untuk mengatasi tantangan ini, Fakhrul menekankan urgensi penciptaan instrumen dolar yang produktif. Ia menyarankan opsi seperti obligasi dolar dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkemuka seperti Pertamina dan PLN, atau penerbitan obligasi pemerintah berdenominasi dolar (INDON) untuk menyerap likuiditas. Alternatif lain adalah mengarahkan bank-bank Himbara untuk memperluas pembiayaan ekspor atau membuka cabang di luar negeri guna menyalurkan dana dolar yang mereka kumpulkan.
Fakhrul mencontohkan, dalam beberapa tahun terakhir, lebih banyak perusahaan domestik memilih menerbitkan obligasi rupiah karena biaya swap yang lebih murah, mengakibatkan pasar kehilangan instrumen berbasis dolar yang krusial. Padahal, ketersediaan pinjaman, obligasi, atau instrumen lindung nilai (hedging) dalam dolar sangat penting untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas sistem keuangan nasional. “Kalau excess liquidity dolar yang masuk bisa match dengan obligasi atau loan baru, rupiah bukan hanya stabil, tapi berpotensi menguat kembali ke kisaran Rp16.000 atau lebih kuat. Karena ada mesin penerimaan devisa baru yang nyata,” lanjutnya.
Fakhrul menegaskan bahwa kebijakan valuta asing tidak dapat hanya berfokus pada bunga deposito semata. “Pada akhirnya, kebijakan dolar adalah cermin dari kemampuan kita menyediakan aset produktif dalam mata uang yang paling diperebutkan dunia. Tanpa itu, setiap tambahan likuiditas dolar hanya menjadi beban bunga, bukan peluang pertumbuhan,” tandasnya.
Tonton: Rupiah dan IHSG Amblas Imbas Ojol Tewas Dilindas Rantis Brimob
Ia menutup dengan penekanan bahwa tantangan utama bukan sekadar menarik dolar masuk, melainkan memastikan penggunaannya secara produktif. “Jika berhasil, inflow tidak lagi sekadar liability, melainkan mesin kedaulatan ekonomi. Dan di titik itulah rupiah bisa berdiri lebih tegak,” pungkasnya, menandaskan pentingnya pendekatan strategis dan komprehensif dalam mengelola aliran modal asing.
Ringkasan
Rencana pemerintah untuk menaikkan bunga deposito valas oleh bank Himbara menuai kritik dari ekonom. Fakhrul Fulvian dari Trimegah Sekuritas Indonesia memperingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi mengalihkan modal domestik ke dolar, menambah liabilitas dolar tanpa menciptakan kapasitas produktif. Hal ini bisa memicu kelangkaan aset dolar dan memperlemah nilai tukar rupiah.
Untuk mengatasi masalah ini, Fakhrul menyarankan penciptaan instrumen dolar yang produktif, seperti obligasi dolar dari BUMN atau pemerintah. Ia juga menyarankan perluasan pembiayaan ekspor oleh bank Himbara. Kebijakan valuta asing harus fokus pada penyediaan aset produktif dalam dolar agar tambahan likuiditas dolar menjadi peluang pertumbuhan, bukan beban bunga.