mellydia.co.id JAKARTA. Pasar komoditas energi global menutup perdagangan akhir September 2025 dengan sinyal penguatan yang jelas. Kenaikan ini memberikan optimisme sekaligus menyoroti berbagai dinamika yang memengaruhi sektor krusial ini.
Berdasarkan data Trading Economics pada Minggu (28/9/2025), harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) berhasil menguat 0,32% dalam sehari, mencapai US$ 65,19 per barel. Tak kalah, harga minyak Brent juga menunjukkan tren positif, naik 0,36% untuk bertengger di US$ 69,67 per barel, menandakan respons pasar terhadap isu-isu terkini.
Kenaikan serupa juga terlihat pada harga batu bara yang melonjak signifikan 1,29% menjadi US$ 106,4 per ton. Di sisi lain, harga gas alam justru terkoreksi tipis 0,56% menjadi US$ 3,177 per MMBtu dalam perdagangan harian. Namun, perlu dicatat bahwa secara mingguan, harga gas alam justru mencatat kenaikan tajam sebesar 10,01%, mengindikasikan volatilitas yang tinggi. Isu-isu seperti serangan pesawat tak berawak Ukraina yang pernah memangkas pasokan Rusia, kerap menjadi pemicu pergerakan harga minyak yang mendadak.
Menilik lebih jauh, Founder Traderindo, Wahyu Laksono, menganalisis bahwa tren penguatan yang terjadi saat ini banyak didorong oleh faktor-faktor jangka pendek dan musiman. Meskipun demikian, ia mengingatkan bahwa prospek harga energi menjelang akhir tahun 2025 tidak akan terlepas dari sejumlah tantangan yang berpotensi menghambat laju penguatan tersebut.
Secara spesifik, Wahyu menjelaskan kepada Kontan.co.id bahwa untuk sektor minyak mentah, potensi ketegangan geopolitik masih menjadi ancaman serius. Konflik semacam ini dapat mengganggu stabilitas rantai pasok global dan pada akhirnya mendorong premi risiko yang lebih tinggi pada harga minyak. Tidak hanya itu, faktor musiman juga memberikan dorongan signifikan, terutama pada gas alam, di mana permintaan cenderung melonjak seiring tibanya musim dingin di belahan bumi utara. Lebih lanjut, tekanan inflasi yang terus membayangi dan kenaikan biaya logistik global juga berpotensi menjadi variabel penambah tekanan pada keseluruhan harga komoditas energi.
Beberapa sentimen kunci yang akan terus mewarnai pasar energi hingga penghujung tahun mencakup keputusan penting dari OPEC+, serta potensi tambahan pasokan dari produsen non-OPEC+. Kekhawatiran akan perlambatan ekonomi global juga tetap menjadi bayangan yang dapat memengaruhi permintaan. Sebelumnya, dunia juga dikejutkan dengan berita bahwa minyak dunia mencatat kenaikan mingguan terbesar sejak Juni, salah satunya karena Rusia membatasi ekspor BBM, menunjukkan betapa sensitifnya pasar terhadap kebijakan pasokan.
Wahyu turut menyoroti pasar batu bara. Ia mengungkapkan bahwa permintaan yang lesu dari raksasa konsumen seperti China dan India bisa menjadi sentimen bearish yang dominan. Di samping itu, dorongan global menuju transisi energi ke sumber-sumber yang lebih bersih secara perlahan namun pasti akan mengurangi kebutuhan batu bara secara struktural. Untuk gas alam, pergerakan harga akan sangat bergantung pada dinamika permintaan LNG di Eropa dan Asia, serta tingkat produksi di Amerika Serikat. Tidak ketinggalan, kondisi cuaca ekstrem di berbagai belahan dunia juga berpotensi menjadi pemicu tambahan yang signifikan.
Melihat ke depan, Wahyu Laksono memproyeksikan harga minyak WTI akan bergerak stabil di kisaran US$ 60–65 per barel hingga akhir tahun 2025. Sementara itu, harga batu bara diperkirakan akan berada di rentang US$ 95–105 per ton, didorong oleh kondisi kelebihan pasokan dan dorongan global menuju energi bersih, sejalan dengan langkah-langkah pemerintah dalam menindak perusahaan mineral dan batubara yang melanggar aturan. Adapun harga gas alam berpotensi mengalami kenaikan musiman, bahkan hingga menembus level US$ 3,50 per MMBtu, menunjukkan adanya potensi penguatan di segmen ini.