Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyuarakan kekhawatiran mendalam mengenai potensi hilangnya akses masyarakat terhadap beras mutu terbaik. Kekhawatiran ini muncul seiring rencana pemerintah untuk menerapkan skema beras satu kualitas, yang menurut Yeka, berisiko besar menghilangkan pilihan beras bermutu dari pasar. Pernyataan tersebut disampaikan Yeka kepada awak media di kantor Ombudsman pada Jumat, 8 Agustus 2025.
Penerapan kebijakan ini, imbuh Yeka, akan memaksa masyarakat kelas menengah atas untuk mengubah preferensi konsumsi mereka. Jika klasifikasi beras medium dan premium dihapuskan, konsumen yang selama ini terbiasa membeli beras dengan harga Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per kilogram akan terpaksa beralih ke beras seharga Rp 13.900. Padahal, segmen menengah atas ini memiliki daya beli tinggi dan merupakan konsumen potensial yang signifikan. Dampak lainnya, skema beras satu kualitas ini juga akan merugikan masyarakat yang menginginkan harga beras di bawah ketetapan tersebut. Dengan satu harga tunggal, konsumen yang mencari beras lebih terjangkau tidak akan dapat memenuhi kebutuhannya.
Rencana kontroversial ini sebelumnya diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan. Ia menyatakan bahwa pemerintah akan menghapus standar kualitas beras premium dan medium. “Beras ya beras, sudah. Tidak lagi premium dan medium,” tegas Zulkifli usai rapat di Graha Mandiri, Jakarta, pada Jumat, 25 Juli 2025. Politikus Partai Amanat Nasional yang akrab disapa Zulhas ini menjelaskan bahwa ke depan, beras hanya akan dibagi menjadi dua kategori: beras biasa dan beras khusus. Kategori “beras khusus” akan mencakup varietas unik seperti beras ketan, atau beras impor seperti basmati dan japonica.
Zulhas belum merinci secara pasti harga maupun klasifikasi mutu beras yang baru, namun ia menyebut bahwa rincian persentase kualitas dan harga beras akan diputuskan dalam rapat bersama Badan Pangan Nasional (Bapanas), dengan opsi harga berkisar antara Rp 12.500 hingga Rp 13.500. Keputusan fundamental ini, menurut Zulhas, didasarkan pada temuan maraknya praktik oplosan beras di pasar. Banyak produsen kedapatan menjual beras kualitas medium dengan label kemasan premium, sebuah praktik yang dinilai merugikan konsumen dan harus dihentikan.
Menanggapi polemik ini, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengonfirmasi bahwa pihaknya akan segera menyesuaikan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) yang mengatur persyaratan mutu beras. Arief menambahkan bahwa nantinya akan ada harga maksimum yang ditetapkan, dengan standar kualitas wajib seperti kadar air maksimal 14 persen—sebab kadar air yang lebih tinggi dapat menyebabkan beras cepat basi. Saat ini, Perbadan Nomor 2 Tahun 2023 telah menetapkan tujuh parameter mutu untuk empat kelas beras, yaitu premium, medium, submedium, dan pecah. Regulasi yang berlaku saat ini membatasi derajat sosoh maksimal untuk keempat kelas tersebut pada 95 persen, sementara kadar air maksimal adalah 14 persen. Lebih lanjut, terdapat perbedaan spesifik dalam komposisi butir. Untuk beras premium, butir menir maksimal hanya 0,5 persen dan butir patah dibatasi 15 persen. Sebaliknya, beras medium diizinkan memiliki butir menir hingga 2,0 persen dan butir patah hingga 25 persen. Peraturan inilah yang kemungkinan besar akan direvisi untuk mengakomodasi skema beras satu kualitas yang baru.
Pilihan Editor: Untung-Rugi Menghapus Klasifikasi Beras
Ringkasan
Ombudsman RI menyampaikan kekhawatiran terkait rencana pemerintah menerapkan skema beras satu kualitas, yang berpotensi menghilangkan pilihan beras bermutu bagi masyarakat. Kebijakan ini dikhawatirkan memaksa konsumen kelas menengah atas untuk mengubah preferensi konsumsi mereka, karena beras dengan harga yang biasa mereka beli tidak lagi tersedia. Skema ini juga berpotensi merugikan konsumen yang menginginkan harga beras lebih terjangkau.
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan menyatakan pemerintah akan menghapus standar kualitas beras premium dan medium, membaginya menjadi beras biasa dan beras khusus. Badan Pangan Nasional akan menyesuaikan peraturan terkait mutu beras, menetapkan harga maksimum dan standar kualitas wajib seperti kadar air maksimal 14 persen. Keputusan ini didasari temuan praktik oplosan beras di pasar yang merugikan konsumen.