mellydia.co.id JAKARTA. Sektor energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia terus menunjukkan momentum positif, mendorong para emiten pengembangnya untuk menggenjot performa keuangan melalui peluang ekspansi bisnis yang kian terbuka lebar. Perkembangan ini sejalan dengan kemajuan transisi energi hijau di Tanah Air yang terus berjalan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru-baru ini mengumumkan bahwa bauran EBT di Indonesia telah mencapai 16% per awal September 2025. Angka ini menandakan peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan posisi awal tahun 2025 yang masih berada di kisaran 14%–15%.
Peningkatan capaian bauran EBT ini sebagian besar didorong oleh beroperasinya sejumlah proyek pembangkit hijau dalam beberapa bulan terakhir. Tambahan kapasitas berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), hingga fasilitas bioenergi yang telah mencapai tanggal operasi komersial (COD).
Mengacu pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) terbaru, Kementerian ESDM memiliki target ambisius untuk mencapai bauran EBT nasional hingga 23% pada tahun 2030, menegaskan komitmen pemerintah terhadap energi berkelanjutan.
Simak Rekomendasi Saham Pilihan dan Proyeksi IHSG untuk Hari Ini (26/9)
Melihat perkembangan ini, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, menyoroti bahwa kenaikan bauran EBT menjadi 16% per awal September 2025 merupakan sinyal positif yang kuat bagi kinerja emiten-emiten di sektor EBT. Menurut Arinda, capaian ini menunjukkan bahwa transisi energi terus berlangsung, meskipun secara bertahap, sekaligus membuka ruang pertumbuhan yang lebih luas di masa mendatang.
Kondisi ini tidak hanya memperkuat prospek bisnis emiten EBT dalam jangka menengah hingga panjang, melainkan juga memperluas peluang ekspansi kapasitas pembangkit dan diversifikasi teknologi. “Selain itu, pemerintah kemungkinan akan menambah dukungan berupa insentif atau proyek baru, sehingga potensi peningkatan pendapatan bagi EBT menjadi lebih besar,” jelas Arinda pada Rabu (24/9/2025).
Sejalan dengan pandangan tersebut, Investment Analyst Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, juga menilai bahwa target pemerintah untuk bauran EBT sebanyak 30% pada tahun 2030, didukung oleh insentif fiskal dan non-fiskal, menjadikan sektor ini kian menjanjikan. Indy menambahkan bahwa bukan tidak mungkin sektor EBT akan diramaikan tidak hanya oleh pemain lama, tetapi juga oleh emiten-emiten baru yang melakukan diversifikasi bisnis ke bidang ini. “Insentif yang dikeluarkan pemerintah sangat membantu untuk akses proyek EBT,” ujar Indy pada Kamis (25/9/2025).
Kendati demikian, prospek cerah ini tidak lantas tanpa tantangan. Emiten EBT masih dihadapkan pada sejumlah hambatan besar. Salah satunya adalah biaya investasi awal yang sangat tinggi, mengingat proyek pembangkit EBT umumnya membutuhkan modal besar dengan periode balik modal yang panjang. Selain itu, akses pendanaan juga relatif terbatas karena lembaga keuangan cenderung berhati-hati dalam membiayai proyek EBT yang keekonomiannya belum sepenuhnya pasti tanpa subsidi pemerintah.
Di samping itu, keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi juga menjadi kendala, membuat integrasi EBT ke dalam sistem kelistrikan nasional tidak mudah dilakukan. “Kepastian regulasi juga menjadi isu penting, karena perubahan kebijakan tarif, insentif, maupun kontrak dengan PLN kerap menimbulkan ketidakpastian bagi investor,” tambah Arinda, menegaskan pentingnya stabilitas regulasi.
Untuk jangka pendek, Arinda merekomendasikan saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) sebagai pilihan menarik bagi investor yang melirik sektor EBT. Saham PGEO ditargetkan dapat mencapai level Rp 1.465 per saham, sementara BREN diproyeksikan ke level Rp 9.325 per saham.
Sementara itu, Indy Naila juga memiliki pandangan serupa, memilih BREN sebagai saham yang menarik dari sektor EBT, dengan target harga di kisaran Rp 9.600—9.800 per saham.