Burden Sharing Dikritik: Bank Indonesia Danai Program Pemerintah, Efektifkah?

Posted on

Pertanyaan besar kembali mencuat mengenai mekanisme kesepakatan berbagi beban atau burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mendanai program prioritas Asta Cita. Mekanisme ini, yang melibatkan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) oleh BI, secara historis merupakan langkah strategis yang diambil kala perekonomian dihantam krisis, seperti penanganan pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.

Namun, kritik tajam dilontarkan oleh Direktur Eksekutif CENTER of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. Ia mempertanyakan relevansi penggunaan skema ini di tengah kondisi ekonomi yang, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan pertumbuhan solid 5,12 persen pada kuartal II 2025. “Jika pertumbuhannya masih di atas 5 persen, berarti bukan dalam kondisi krisis. Kok disamakan pada saat Covid-19,” tegas Bhima, sebagaimana dikutip pada Jumat, 5 September 2025.

Bhima juga menyayangkan peran bank sentral yang seharusnya fokus menjaga stabilitas moneter, kini justru ikut terlibat dalam pendanaan program fiskal pemerintah. Ia mempertanyakan potensi dampak jangka panjang. “Kenapa moneternya diseret-seret untuk mendanai program fiskal? Yang programnya belum tentu bisa mendorong perekonomian ke depannya?” tambahnya. Mengingat pengalaman pandemi Covid-19, di mana skema burden sharing dilakukan dengan pembelian SBN langsung di pasar primer oleh BI, Celios mengingatkan akan risiko moneter yang melekat. Risiko ini akan kian membesar jika program-program yang didanai melalui skema ini tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Di sisi lain, Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam rapat kerja daring bersama DPD RI pada Selasa, 2 September 2025, menjelaskan detail rencana burden sharing terbaru ini. Berbeda dengan skema pandemi, Perry menegaskan bahwa langkah BI kali ini akan dilakukan dengan membeli SBN dari pasar sekunder. Sebagian dana hasil pembelian ini kemudian akan dialokasikan oleh Kementerian Keuangan untuk mendukung berbagai program prioritas, termasuk perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.

“Dengan burden sharing atau pembagian beban bunga yang tentu saja bersama BI dan Kemenkeu, dan karenanya akan mengurangi beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam program Asta Cita,” jelas Perry. Ia menambahkan bahwa sejak awal tahun, bank sentral telah mengakuisisi SBN senilai Rp 200 triliun. BI dan Kemenkeu telah sepakat untuk membagi beban bunga SBN tersebut secara merata, masing-masing menanggung setengah. Sebagai contoh, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban bunga efektif masing-masing pihak sebesar 2,9 persen, sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih, bunga efektifnya adalah 2,15 persen.

Nandito Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Danantara Jadi Juru Selamat BUMN Farmasi yang Kolaps

Ringkasan

Mekanisme burden sharing antara Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mendanai program prioritas Asta Cita menuai kritik. Kritikus mempertanyakan relevansi skema ini di tengah pertumbuhan ekonomi yang dianggap solid, serta potensi dampaknya terhadap stabilitas moneter BI yang seharusnya fokus pada kebijakan moneter, bukan pendanaan fiskal.

Gubernur BI menjelaskan bahwa burden sharing kali ini berbeda, dilakukan dengan membeli SBN di pasar sekunder dan membagi beban bunga dengan Kemenkeu untuk program prioritas seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih. BI telah mengakuisisi SBN senilai Rp 200 triliun dan membagi beban bunga secara merata dengan Kemenkeu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *