Bank Indonesia (BI) melaporkan adanya arus keluar modal asing yang signifikan dari pasar domestik pada pekan pertama September 2025. Tercatat, dana sebesar Rp 16,85 triliun meninggalkan pasar Indonesia berdasarkan data transaksi pada 1-3 September 2025, mengindikasikan tekanan terhadap stabilitas finansial di tengah dinamika ekonomi terkini.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, penarikan modal ini didominasi oleh aksi jual neto oleh investor nonresiden. Rinciannya, pasar saham mencatat jual neto sebesar Rp 3,87 triliun, sementara pasar Surat Berharga Negara (SBN) mengalami jual neto Rp 7,69 triliun. Selain itu, Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) juga tidak luput dari tekanan, dengan arus keluar sebesar Rp 5,29 triliun.
Sentimen negatif pasar ini turut tercermin dari kenaikan premi credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor lima tahun. Per 3 September 2025, angka CDS berada di level 71,57 basis poin (bps), meningkat dari 69,52 bps pada 29 Agustus 2025. Kenaikan ini, seperti disampaikan Denny dalam keterangan resmi pada Kamis, 4 September 2025, seringkali diinterpretasikan sebagai indikator peningkatan persepsi risiko investasi di Indonesia.
Secara kumulatif, tren modal asing sepanjang tahun juga menunjukkan dinamika serupa. Sejak awal tahun hingga 3 September 2025, nonresiden telah melakukan jual neto di pasar saham sebesar Rp 51,78 triliun dan di pasar SRBI sebesar Rp 106,38 triliun. Namun, di sisi lain, pasar SBN justru menarik minat dengan adanya beli neto sebesar Rp 68,02 triliun oleh investor asing.
Dampak dari pergerakan modal asing ini juga terasa pada kinerja mata uang domestik dan pasar obligasi. Pada Kamis pagi, 4 September 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) dibuka melemah di level Rp 16.430 per US$. Meskipun demikian, yield SBN 10 tahun tercatat sedikit turun ke level 6,35 persen, menunjukkan dinamika yang kompleks di pasar keuangan.
Situasi ini juga memengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada pembukaan perdagangan Senin, 1 September 2025, IHSG sempat anjlok 2,66 persen, mencapai level 7.621,92 dari posisi 7.830,49 pada penutupan Jumat, 29 Agustus 2025. Namun, mengacu data Bursa Efek Indonesia, IHSG berhasil menutup perdagangan pada Kamis, 4 September 2025, di level 7.867, menunjukkan adanya pemulihan parsial setelah awal pekan yang bergejolak.
Menganalisis fenomena ini, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebutkan bahwa salah satu pemicu utama sentimen negatif pasar di awal pekan adalah respons pemerintah yang dianggap lamban terhadap isu-isu fundamental ekonomi yang diangkat dalam demonstrasi pekan lalu. Bhima menilai bahwa Presiden Prabowo belum berhasil menjawab tuntutan massa, mulai dari masalah pajak yang tidak adil hingga desakan untuk efisiensi anggaran pemerintah. Situasi ini, menurutnya, telah menciptakan eskalasi protes yang pada gilirannya meningkatkan risiko politik bagi para investor.
Selain risiko politik, Bhima juga menyoroti adanya korban jiwa dan tindakan represi dari aparat keamanan di berbagai wilayah. Insiden ini secara langsung mengindikasikan lonjakan risiko keamanan, yang membuat para investor merasa tidak nyaman untuk menanamkan modalnya. “Akhirnya mereka tidak nyaman berinvestasi,” tegas Bhima kepada Tempo pada Senin, 1 September 2025, menekankan dampak langsung dari situasi keamanan terhadap keputusan investasi.
Ringkasan
Bank Indonesia (BI) melaporkan adanya arus keluar modal asing sebesar Rp 16,85 triliun dari pasar domestik pada awal September 2025, terutama dari pasar saham, SBN, dan SRBI. Penarikan ini didominasi oleh investor nonresiden dan berdampak pada kenaikan premi credit default swap (CDS) Indonesia, yang mengindikasikan peningkatan persepsi risiko investasi.
Secara kumulatif, investor asing telah melakukan jual neto di pasar saham dan SRBI sejak awal tahun, meskipun ada beli neto di pasar SBN. Pergerakan modal asing ini memengaruhi nilai tukar rupiah yang melemah dan sempat membuat IHSG anjlok, namun kemudian pulih sebagian. Sentimen negatif pasar dipicu oleh respons pemerintah yang dianggap lambat terhadap isu fundamental ekonomi dan meningkatnya risiko politik serta keamanan.