Kartel Bunga Pinjol? AFPI Akhirnya Buka Suara!

Posted on

ASOSIASI Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) membantah keras tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengenai praktik kartel bunga pinjaman online (pinjol). Ketua Bidang Humas AFPI, Kuseryansyah, menilai tuduhan tersebut berpotensi membentuk opini publik yang merugikan reputasi para anggota asosiasi.

Kasus dugaan kartel pinjol ini bermula dari penyelidikan intensif yang dilakukan KPPU pada tahun 2023, berfokus pada potensi monopoli bunga utang yang disinyalir diatur oleh asosiasi fintech pendanaan bersama (pindar). Puncaknya, pada tahun 2025, komisi tersebut secara resmi menetapkan puluhan anggota AFPI sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang secara tegas melarang pelaku usaha fintech peer to peer lending melakukan perjanjian penetapan harga.

Dalam sebuah sesi diskusi bersama media di Jakarta pada Rabu, 27 Agustus 2025, Kuseryansyah memberikan penjelasan rinci terkait duduk perkara ini. Ia memaparkan bahwa sejak terbentuk pada tahun 2018, AFPI telah melihat kebutuhan mendesak untuk menetapkan panduan tertulis atau code of conduct mengenai besaran bunga. Langkah ini, menurut Kuseryansyah, merupakan arahan langsung dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tujuan utama dari penetapan panduan ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dari ancaman bunga tinggi yang kerap diterapkan oleh pinjol ilegal, mengingat banyaknya kasus yang merugikan masyarakat. “Pada saat itu, untuk melindungi konsumen dari predatory lending, ada proses hukum di Polres Sleman. Waktu itu bunga yang dikenakan 4 persen,” ungkap Kuseryansyah, menjelaskan konteks historis kebijakan tersebut.

Predatory lending sendiri merujuk pada praktik pemberian pinjaman dengan syarat, bunga, dan biaya yang tidak wajar serta berpotensi menipu. Sebagai contoh, pinjaman sebesar Rp 3 juta bisa membengkak menjadi Rp 30 juta dalam hitungan bulan. Menyadari risiko tersebut, AFPI merasa perlu untuk menetapkan pembatasan. “Karena itu kami bikin pembatasan,” tegasnya.

Awalnya, AFPI memberlakukan batas bunga pinjaman maksimal 0,8 persen. Kemudian, pada tahun 2021, asosiasi ini menurunkannya menjadi 0,4 persen. Penyesuaian ini didasari pertimbangan bahwa bunga di atas nilai tersebut akan dianggap sebagai praktik predatory lending dan kurang pro terhadap konsumen. Namun, surat keputusan kode etik ini akhirnya dicabut pada Oktober 2023, menyusul penerbitan aturan baru oleh OJK terkait batas bunga pinjaman.

Aturan baru tersebut tertuang dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/SEOJK.06/2023, yang secara spesifik mengatur penyelenggaraan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI). Dalam regulasi ini, batas maksimal manfaat bunga untuk pinjaman produktif ditetapkan sebesar 0,1 persen, sementara untuk pendanaan konsumtif maksimal 0,3 persen.

Kuseryansyah menegaskan bahwa sejak aturan OJK tersebut terbit, code of conduct atau kode etik AFPI tidak lagi menjadi acuan. Oleh karena itu, bukti yang dipegang oleh KPPU semestinya sudah tidak berlaku. Meskipun demikian, kasus dugaan kartel bunga pinjol ini tetap diteruskan oleh KPPU.

Tahun ini, sebanyak 97 anggota pindar yang tergabung dalam asosiasi telah ditetapkan sebagai terlapor. Berdasarkan informasi dari laman resmi KPPU, komisi tersebut telah menggelar sidang pada 14 Agustus 2025 dengan agenda pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh Investigator. Sidang lanjutan dijadwalkan kembali pada 28 Agustus untuk pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian alat bukti.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI), Ditha Wiradiputra, menyoroti keseriusan tuduhan yang dialamatkan, yakni masalah kartel. “Namun ketika proses persidangan dimulai, ternyata tuduhan yang diarahkan kepada perusahaan-perusahaan ini adalah pelanggaran Pasal 5, dugaan pelanggaran praktik penetapan harga atau price fixing,” jelasnya. Ditha juga menyarankan agar KPPU menelaah ulang latar belakang penetapan bunga oleh AFPI, mengingat asosiasi memang perlu menetapkan bunga sebelum adanya kebijakan resmi dari OJK.

Pandangan serupa juga disampaikan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman. Ia mengonfirmasi bahwa pengaturan batas maksimum suku bunga yang diberlakukan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dulunya memang merupakan arahan dari OJK.

“Penetapan batas maksimum manfaat ekonomi atau suku bunga tersebut ditujukan demi memberikan pelindungan kepada masyarakat dari suku bunga tinggi, sekaligus untuk membedakan pinjaman online legal dengan yang ilegal,” papar Agusman, menggarisbawahi tujuan mulia di balik kebijakan tersebut. Ia menambahkan bahwa pengaturan ini ditetapkan sebelum terbitnya SE OJK Tahun 2023 tentang penyelenggaraan pinjaman online. Setelah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) disahkan, ketentuan batas maksimum yang ditetapkan AFPI tidak lagi berlaku dan sepenuhnya mengacu pada regulasi OJK.

Meskipun demikian, Agusman menegaskan bahwa OJK tetap menghormati proses penyelidikan yang sedang berlangsung di KPPU. “OJK mencermati dan menghormati jalannya proses hukum yang tengah dilakukan oleh KPPU,” pungkasnya, menunjukkan sikap netral namun kooperatif dari lembaga regulator.

Anastasya Levenia berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Buat Apa Pemerintah Bongkar-Pasang Regulasi Impor

Ringkasan

AFPI membantah tuduhan kartel bunga pinjol dari KPPU. Tuduhan tersebut bermula dari penyelidikan KPPU pada 2023 terkait potensi monopoli bunga, yang kemudian menetapkan puluhan anggota AFPI sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999. AFPI menyatakan bahwa penetapan panduan bunga sebelumnya merupakan arahan OJK untuk melindungi konsumen dari pinjol ilegal dengan bunga tinggi (predatory lending).

AFPI awalnya menetapkan batas bunga maksimal 0,8% lalu turun menjadi 0,4% sebelum akhirnya dicabut setelah terbitnya SE OJK No. 19/SEOJK.06/2023. Meskipun kode etik AFPI tak lagi berlaku, KPPU tetap melanjutkan penyelidikan. Baik OJK maupun beberapa ahli menyoroti konteks historis penetapan bunga oleh AFPI sebagai upaya perlindungan konsumen sebelum adanya regulasi resmi dari OJK.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *