JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan komitmennya untuk tetap mengejar pengembalian aset dari kasus korupsi yang menjerat mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba (AGK), meskipun ia telah meninggal dunia pada Jumat, 14 Maret 2025. Langkah ini menunjukkan keseriusan lembaga antirasuah tersebut dalam mengoptimalkan pemulihan aset negara.
Sebagai informasi penting, Abdul Ghani sebelumnya telah mengajukan kasasi pada Desember 2024 terkait perkara suap dan gratifikasi yang menjeratnya. Tragisnya, ia menghembuskan napas terakhir sebelum putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA) dapat dikeluarkan, sehingga status hukum perkaranya belum berkekuatan hukum tetap.
Di sisi lain, KPK juga tengah gencar mengusut dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan mantan gubernur dua periode tersebut. Abdul Ghani sendiri telah resmi berstatus tersangka dalam kasus TPPU ini, menambah daftar panjang jeratan hukum yang dihadapinya.
Pengacara Abdul Ghani, Hairun Rizal, secara langsung mengonfirmasi bahwa kliennya meninggal dunia ketika perkara suap dan gratifikasi yang menjeratnya belum berstatus inkracht. “Untuk perkara suap dan gratifikasi belum inkrah karena kita sedang mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dan hingga saat ini belum turun putusan kasasinya hingga Pak AGK meninggal dunia,” jelas Hairun kepada Bisnis pada Minggu, 23 Maret 2025.
Menanggapi situasi ini, Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan bahwa pihaknya akan membahas tindak lanjut penanganan perkara Abdul Ghani dalam rapat pimpinan. KPK memiliki opsi untuk menempuh jalur perdata dalam upaya mengejar pengembalian aset korupsi Abdul Ghani. “Ada klausul yang menyebutkan bahwa, ketika sudah dalam penyidikan, si tersangka itu meninggal, itu bisa dilakukan gugatan perdata oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN),” terang Asep dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis, 20 Maret 2025.
Meskipun demikian, KPK akan memelajari secara cermat apakah perkara yang menjerat Abdul Ghani ini termasuk dalam kategori kerugian negara atau tidak. Asep menambahkan bahwa pihaknya bakal menunggu hasil persidangan beberapa tersangka lain yang terlibat dalam kasus yang sama dengan Abdul Ghani. Salah satunya adalah untuk Muhaimin Syarif (MS), yang didakwa turut memberikan suap kepada Abdul Ghani dan mengondisikan sejumlah pemberian izin tambang di Maluku Utara. “Kita menunggu hasil persidangannya. Karena persidangannya tidak hanya Pak AGK tapi kan ada juga yang lainnya, ada MS ya, MS juga karena saya harus agak hati-hati, nanti kita akan menunggu hasil persidangannya,” ujar Asep.
Sebelumnya, Abdul Ghani telah dijatuhi vonis hukuman penjara selama 8 tahun dan denda Rp300 juta atas perkara suap dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti senilai Rp109 miliar dan US$90.000. Kasus yang menjerat AGK ini bermula saat KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Desember 2023.
Situasi serupa pernah terjadi dalam perkara mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Saat Lukas meninggal dunia, perkaranya juga belum memeroleh kekuatan hukum tetap. Saat ini, KPK masih terus mengusut dugaan korupsi terkait dengan dana operasional kepala daerah dan wakil kepala daerah di Papua yang melibatkan Lukas Enembe.
Ringkasan
Mantan Gubernur Maluku Utara, Abdul Ghani Kasuba, meninggal dunia sebelum putusan kasasi kasus suap dan gratifikasi yang menjeratnya berkekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, KPK menegaskan akan tetap berupaya mengembalikan aset negara yang diduga terkait korupsi tersebut, dengan mempertimbangkan opsi jalur perdata melalui Jaksa Pengacara Negara.
KPK juga tengah menyelidiki dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan Abdul Ghani. Proses pengembalian aset akan mempertimbangkan hasil persidangan tersangka lain yang terkait, seperti Muhaimin Syarif, serta menunggu kejelasan apakah kasus ini termasuk dalam kategori kerugian negara. KPK mempelajari kasus ini dengan cermat, merujuk pada pengalaman serupa dengan kasus mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe.