Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memprediksi fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang kini memicu gejolak di Pati, akan segera meluas ke banyak daerah lain di Indonesia. Menurut Bhima, kondisi ini merupakan konsekuensi langsung dari pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Anggaran TKD yang ditetapkan untuk tahun 2026 tercatat sebesar Rp 650 triliun, angka ini jauh menurun drastis dari alokasi tahun ini yang mencapai Rp 919 triliun.
“Pada 2026, kita akan melihat lebih banyak daerah seperti Pati, Jombang, Ponorogo, bahkan Cirebon, yang akan terpaksa menaikkan pendapatan secara instan,” tegas Bhima saat berbicara di kantor Celios, Jakarta, pada Sabtu, 16 Agustus 2025. Ia menambahkan, pemangkasan TKD ini secara gamblang mengindikasikan adanya sentralisasi fiskal, sebuah langkah yang dinilainya bertolak belakang dengan semangat desentralisasi yang diusung sejak era Reformasi.
Bahkan saat ini saja, Bhima mencermati, keuangan daerah sudah berada di bawah tekanan fiskal signifikan akibat efisiensi anggaran. Oleh karena itu, pengurangan anggaran TKD untuk tahun 2026 diprediksi akan memperparah dan meratakan tekanan fiskal di seluruh daerah.
Dampak tekanan fiskal ini, menurut Bhima, akan terasa sangat berat, khususnya di daerah yang tidak memiliki sumber daya alam karena mereka tidak menerima Dana Bagi Hasil (DBH). Tak hanya itu, daerah kaya sumber daya alam pun akan merasakan dampaknya. Efisiensi anggaran akan menyulitkan pembiayaan untuk mengatasi kerusakan lingkungan akibat aktivitas ekstraktif.
Kondisi ini dipercaya akan mendorong pemerintah daerah untuk mengambil jalan pintas dalam meningkatkan pendapatan, yaitu melalui penarikan pajak dan retribusi yang lebih tinggi. Namun, Bhima mengingatkan, skema ini justru akan membebani dan memberatkan masyarakat. “Satu-satunya solusi yang bisa mengatasi permasalahan ini adalah evaluasi menyeluruh terhadap pemotongan atau efisiensi belanja pemerintah pusat,” tegasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan rincian komposisi TKD yang meliputi Dana Bagi Hasil (DBH) sebesar Rp 45,1 triliun; Dana Alokasi Umum (DAU) Rp 373,8 triliun; Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp 155,1 triliun; Dana Otonomi Khusus Rp 13,1 triliun; Dana Afirmasi Istimewa (Dais) DIY Rp 500 miliar; Dana Desa Rp 60,6 triliun; dan Insentif Fiskal Rp 1,8 triliun.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa penurunan transfer daerah ini merupakan bagian dari penyesuaian anggaran secara menyeluruh. Untuk membiayai belanja negara, pemerintah telah menargetkan pendapatan negara mencapai Rp 3.147 triliun pada tahun 2026. Angka target ini menunjukkan kenaikan 9,8 persen dibandingkan perkiraan penerimaan tahun 2025 yang sebesar Rp 2.865,5 triliun.
Namun, Sri Mulyani mengakui bahwa pencapaian target pendapatan negara untuk tahun depan adalah sebuah tantangan besar. Hal ini disebabkan dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penerimaan negara hanya berkisar 5,6 persen. “Bahkan tahun ini, pertumbuhan penerimaan diperkirakan hanya mencapai 0,5 persen,” ungkapnya dalam konferensi pers di Jakarta pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Faktanya, di Pati, kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang fantastis hingga 250 persen telah memicu gelombang aksi demonstrasi masyarakat. Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman, mengkonfirmasi bahwa lonjakan serupa juga terjadi di berbagai daerah lain. “Di Kota Cirebon, PBB-P2 naik gila-gilaan, sampai ada kelompok pelaku usaha yang menggugat ke Mahkamah Agung,” tutur Herman saat dihubungi pada Kamis, 14 Agustus 2025.
Namun, pemerintah pusat melalui Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, membantah keras bahwa maraknya fenomena kenaikan tarif PBB-P2 oleh kepala daerah disebabkan oleh minimnya transfer dana ke daerah. Prasetyo Hadi menegaskan bahwa keputusan untuk menaikkan PBB sepenuhnya adalah kebijakan otonom setiap pemerintah daerah. “Jadi bukan, menurut pendapat kami bukan karena itu (anggaran daerah kurang),” ujarnya kepada awak media di Istana Kepresidenan, Rabu, 13 Agustus 2025.
Artikel ini merupakan kontribusi dari Nandito Putra, Dani Aswara, dan Eka Yudha Saputra.
Ringkasan
Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026 sebesar Rp 650 triliun dari Rp 919 triliun di tahun 2025, memicu prediksi kenaikan pajak daerah, khususnya PBB-P2, di berbagai wilayah Indonesia. Kondisi ini disebabkan tekanan fiskal yang signifikan di daerah, diperparah dengan minimnya sumber daya alam di beberapa daerah dan pengurangan anggaran TKD. Kenaikan PBB yang signifikan, bahkan hingga 250 persen di Pati, telah memicu protes masyarakat.
Pemerintah pusat menjelaskan penurunan TKD sebagai bagian dari penyesuaian anggaran menyeluruh, menargetkan pendapatan negara Rp 3.147 triliun di 2026. Meskipun demikian, pemerintah membantah kenaikan PBB disebabkan oleh pengurangan TKD, menekankan bahwa kebijakan tersebut merupakan otonomi daerah. Namun, pakar ekonomi memperingatkan bahwa ini akan membebani masyarakat dan solusi utamanya adalah mengevaluasi efisiensi belanja pemerintah pusat.