Di antara rumput dan lumpur

Posted on

Golf tidak lahir dari kegelisahan hidup. Ia lahir dari kelapangan. Dari waktu yang tidak diburu, dari tubuh yang tidak ditagih oleh kebutuhan mendesak. Di Skotlandia, abad ke-15, orang-orang yang bermain golf adalah mereka yang tidak harus memikirkan panen esok hari atau harga gandum minggu depan. Mereka memukul bola kecil di tanah lapang, sambil membiarkan angin mengurus sisanya.

Sejak awal, golf bukan sekadar olahraga. Ia adalah cara hidup. Ia menuntut lahan luas, perawatan rutin, dan kesabaran yang panjang. Semua itu hanya mungkin bila hidup telah berada pada jarak aman dari kekurangan. Maka, tidak mengherankan jika golf tumbuh sebagai permainan kaum elite. Bukan karena gerakannya paling rumit, melainkan karena syarat-syarat sosialnya tidak murah.

Lapangan golf adalah alam yang sudah diseleksi. Rumput dipotong seragam. Tanah diratakan. Air diatur. Segala sesuatu berada dalam kendali. Bahkan, kegagalan pun tampak sopan. Bola yang melenceng tidak membawa petaka. Ia hanya mengundang ayunan berikutnya.

Barangkali di situlah golf bersinggungan dengan kekuasaan. Keduanya sama-sama membutuhkan jarak. Jarak dari kerumunan, dari kegaduhan, dari rasa tergesa. Kekuasaan, seperti golf, bekerja paling nyaman ketika dunia tampak tertib dan bisa diprediksi.

Lalu, sebuah gambar beredar. Seorang pejabat berdiri di lapangan golf. Latar hijau membentang. Wajahnya tenang. Di tangannya memegang stik. Pada waktu yang hampir tak berjarak, berita tentang bencana mengalir tanpa jeda: banjir, rumah tenggelam, warga mengungsi, bantuan yang ditunggu.

Gambar itu segera memantik reaksi. Bukan karena siapa orangnya semata, melainkan karena tempatnya. Lapangan golf berbicara lebih banyak daripada yang disadari. Ia membawa sejarah panjang tentang privilese dan keterpisahan. Ia adalah simbol dunia yang aman, ketika sebagian besar orang sedang menghadapi dunia yang runtuh.

Datanglah klarifikasi. Ia tidak sedang bermain golf. Ia sedang menggalang donasi. Penjelasan itu masuk akal. Bahkan patut diapresiasi. Namun, publik tidak hidup hanya dari logika. Mereka hidup dari rasa. Dan rasa sering kali bekerja lebih cepat daripada akal.

Masalahnya bukan pada niat. Niat baik hampir selalu ada dalam setiap pernyataan. Yang dipersoalkan adalah kepekaan. Tentang kapan dan di mana sesuatu dilakukan. Tentang kesadaran bahwa ruang tidak pernah netral, terutama di negeri yang mudah luka oleh ketimpangan.

Lapangan golf, betapa pun terbukanya, bukan ruang biasa. Ia adalah ruang yang sudah lama didefinisikan sebagai milik segelintir orang. Ketika kekuasaan muncul di ruang semacam itu, publik membaca pesan yang mungkin tak dimaksudkan: jarak yang terlalu jauh dari lumpur.

Bencana adalah peristiwa ketika alam menolak dikendalikan. Ia datang tanpa izin. Ia mengacaukan rencana. Ia memaksa manusia berhadapan dengan ketidakpastian. Golf justru sebaliknya. Ia adalah perayaan keteraturan. Segalanya terukur. Bahkan jarak menuju lubang sudah dihitung sejak awal.

Ketika dua dunia ini bertemu dalam satu waktu, kontrasnya menjadi tajam. Hijau yang rapi berhadapan dengan air yang keruh. Ketenangan berhadap-hadapan dengan kepanikan. Di situlah keganjilan muncul, tanpa perlu tuduhan.

Publik, sebenarnya, tidak menuntut pejabat berkubang lumpur. Mereka tidak meminta simbol penderitaan yang berlebihan. Yang diharapkan hanyalah kesadaran akan suasana. Bahwa di tengah bencana, kenyamanan mudah terbaca sebagai ketidakpedulian, betapa pun niatnya baik.

Dalam zaman visual seperti sekarang, satu gambar bisa mengalahkan seribu penjelasan. Gambar bekerja tanpa kata. Ia menempel di ingatan. Ia membentuk kesan yang sulit dihapus. Klarifikasi datang belakangan, sering kali terlambat.

Golf akan tetap dimainkan. Lapangan hijau akan terus dirawat. Bencana pun, sayangnya, akan terus datang. Yang menjadi soal bukanlah olahraga atau donasi, melainkan jarak. Jarak antara yang memegang stik dan yang kehilangan rumah. Jarak antara dunia yang bisa ditata dan dunia yang runtuh sewaktu-waktu.

Di negeri ini, barangkali yang paling dibutuhkan dari kekuasaan bukan sekadar keputusan cepat atau bantuan besar, melainkan kepekaan kecil: tahu kapan harus hadir, dan tahu di mana seharusnya berdiri. Sebab di antara rumput yang rapi dan lumpur yang menggenang, sering kali yang dipertaruhkan bukan citra, melainkan rasa keadilan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *