
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. BRI Danareksa Sekuritas menilai kondisi pasar modal Indonesia akan memasuki fase normalisasi pada 2026 dengan pendekatan investasi yang semakin selektif. Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tidak lagi didorong oleh euforia likuiditas, melainkan oleh earnings quality dan konsistensi fundamental.
Dari sisi pelaku pasar, investor domestik diproyeksikan tetap menjadi penggerak utama IHSG, seiring semakin kuatnya basis ritel aktif dan institusi lokal. Sementara itu, investor asing cenderung lebih selective buying dan sangat sensitif terhadap dinamika global, khususnya arah suku bunga dan risiko geopolitik.
BRI Danareksa Sekuritas mematok target IHSG pada akhir 2026 di level 9.440. Proyeksi tersebut didasarkan pada sejumlah asumsi utama, antara lain pertumbuhan earnings per share (EPS) pada 2026 sebesar 8%, dengan valuasi price to earnings (P/E) di kisaran 14,2 kali. Ini sejalan dengan rata-rata valuasi lima tahun terakhir untuk kelompok saham-saham berfundamental kuat.
Superbank (SUPA) Jadi Emiten Terakhir IPO di 2025, Cek Pipeline IPO Tahun Depan
Selain itu, disematkan premi sebesar 40% untuk merefleksikan potensi berlanjutnya aliran dana ke saham-saham konglomerasi serta saham yang diperkirakan masuk ke dalam indeks utama.
Customer Engagement & Market Analyst Department Head BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) Chory Agung Ramdhani mengungkapkan pada skenario bullish, IHSG berpeluang menguat hingga level 9.820 dengan asumsi pertumbuhan EPS mencapai 10%.
Sementara pada skenario bearish, IHSG diproyeksikan berada di kisaran 9.135 apabila pertumbuhan EPS terbatas di level 6%.
“Risiko utama pasar mencakup potensi perubahan atau penundaan kebijakan dan program pemerintah, serta perubahan metodologi indeks utama,” kata Chory kepada Kontan, Selasa (23/12/2025) lalu.
Sentimen Pendukung dan Pemberat IHSG
Chory menyampaikan sejumlah sentimen yang berpotensi menopang pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2026. Faktor pendukung tersebut mencakup stabilitas inflasi, terbukanya ruang penurunan suku bunga, serta kesinambungan agenda pembangunan dan industrialisasi nasional.
BNI Sekuritas Prediksi IHSG Tembus 9.100 di Tahun 2026
Dari sisi makro, inflasi Indonesia pada 2026 diproyeksikan tetap terkendali. Pemerintah menargetkan inflasi di level 2,5% dengan deviasi 1%, sejalan dengan proyeksi Bank Indonesia yang juga berada di kisaran 2,5%. Sementara itu, konsensus ekonom menempatkan inflasi pada rentang 3%–4%.
Selain itu, dampak transmisi penurunan BI Rate sepanjang 2025 diperkirakan akan terasa lebih optimal pada 2026, baik terhadap daya beli masyarakat maupun penurunan biaya kredit.
Dari sisi kebijakan, realisasi proyek-proyek strategis nasional diproyeksikan semakin efektif seiring berjalannya kabinet baru yang memasuki tahun kedua pemerintahan, sehingga memberikan efek ekspansi yang lebih nyata bagi perekonomian.
Optimisme juga didorong oleh arah kebijakan fiskal, di mana target pertumbuhan ekonomi pemerintah yang ambisius di kisaran 5,4% hingga 8% membuka ruang bagi peningkatan belanja negara.
Di sisi lain, sentimen pemberat berasal dari perlambatan ekonomi global, tekanan fiskal, volatilitas nilai tukar, serta keterbatasan ruang pertumbuhan laba di beberapa sektor siklikal. Kondisi ini membuat pasar lebih berhati-hati dan menghargai emiten dengan visibilitas kinerja yang jelas.
Sektor Andalan di 2026
Chory menilai di tengah pemulihan ekonomi yang masih berlangsung secara bertahap, tahun 2026 berpotensi kembali menjadi periode yang menuntut pendekatan investasi berbasis bottom up atau stock picking.
Dari sisi alokasi sektor, fokus investasi tetap diarahkan pada sektor-sektor domestik terpilih yang dinilai memiliki prospek pertumbuhan lebih solid. Sektor perbankan dan konsumer, misalnya, diproyeksikan mencatatkan pertumbuhan EPS yang relatif moderat pada 2026, masing-masing sekitar 4% dan 6% secara tahunan, seiring dengan prospek permintaan yang masih cenderung lemah.
Gunawan Dianjaya (GDST) Bagi Dividen Interim Bulan Depan, Cek Rincian dan Jadwalnya
Lalu, sektor telekomunikasi diperkirakan mampu mencatatkan pertumbuhan EBITDA sekitar 7% pada 2026. Sementara itu, sektor unggas diproyeksikan membukukan pertumbuhan EPS sekitar 4%, dan sektor ritel dinilai paling menarik dengan potensi pertumbuhan EPS hingga 16% pada periode yang sama.
Di sektor komoditas, Chory melihat sektor logam (metals) memiliki prospek pertumbuhan yang menonjol, dengan estimasi pertumbuhan EPS 2026 mencapai 27%. Kinerja tersebut terutama ditopang oleh ekspektasi peningkatan volume produksi dari proyek-proyek baru serta ekspansi di sejumlah emiten, seperti BRMS, INCO, dan MBMA.
Di tengah prospek harga nikel yang cenderung datar, kinerja pada 2026 diperkirakan akan lebih menguntungkan bagi emiten dengan eksposur ke emas seperti (BRMS) dan timah (TINS).
Adapun seacra khusus prospek emiten teknologi lokal pada 2026 akan semakin terpolarisasi. Pasar tidak lagi memberikan premi pada pertumbuhan agresif semata, melainkan pada jalur profitabilitas, efisiensi, dan keberlanjutan model bisnis. Kekhawatiran bubble teknologi global justru membuat investor lebih rasional dalam menilai valuasi emiten teknologi domestik.
Disamping itu, Chory menilai saham konglomerat berpotensi kembali menjadi penopang utama IHSG di 2026. Emiten dengan diversifikasi usaha kuat, neraca sehat, serta eksposur ke sektor defensif dan strategis dinilai lebih resilien terhadap volatilitas.
“Fokus investor akan tertuju pada konglomerasi yang mampu menjaga pertumbuhan laba dan arus kas secara berkelanjutan,” tambah Chory.
CGS Sekuritas Beli Saham Darma Henwa (DEWA) di Harga Diskon Rp 179 Miliar
Untuk pendanaan, instrumen berbasis utang seperti obligasi diperkirakan lebih dominan, seiring tren suku bunga yang lebih bersahabat. Sementara, IPO tetap berlangsung, namun lebih selektif dan didominasi emiten dengan bisnis yang sudah matang. Adapun rights issue masih relevan, terutama bagi emiten yang melakukan ekspansi produktif dan bersifat value accretive.



