
Dalam kekalahan dramatis dari Paris Saint-Germain (PSG) di Piala Super Eropa 2025, Pelatih Tottenham Hotspur, Thomas Frank, memilih analogi medis yang tak biasa untuk menggambarkan performa timnya: sebuah “operasi yang berhasil, tetapi pasien meninggal.” Ungkapan ini secara tepat menangkap pahitnya kekalahan adu penalti Spurs setelah sempat unggul 2-0 dan nyaris memenangkan laga.
Duel sengit Piala Super Eropa 2025 mempertemukan Tottenham Hotspur, sang juara Liga Europa, dengan kampiun Liga Champions musim lalu, Paris Saint-Germain. Pertandingan yang digelar pada Kamis, 14 Agustus 2025, dini hari WIB, di BlueEnergy Stadium, Italia, berakhir dengan skor imbang 2-2 selama 90 menit waktu normal, sebelum PSG keluar sebagai pemenang melalui babak adu penalti.
Kisah jalannya pertandingan ini penuh drama. Tottenham Hotspur, yang dijuluki The Lilywhites, sebenarnya berada di ambang kemenangan. Mereka berhasil unggul dua gol berkat aksi Micky van de Ven pada menit ke-39 dan Cristian Romero di menit ke-48. Keunggulan 2-0 ini bertahan hingga menit ke-84, membuat kemenangan di depan mata tampak semakin nyata bagi Spurs.
Namun, seperti skenario yang sering terjadi di sepak bola, PSG menunjukkan daya juang mereka di menit-menit akhir. Pasukan Luis Enrique berhasil memperkecil kedudukan lewat gol Lee Kang-in di menit ke-85, sebelum Goncalo Ramos menyamakan skor secara dramatis pada menit 90+4. Gol penyama kedudukan tersebut memastikan pertandingan langsung dilanjutkan ke babak adu penalti.
Dusan Vlahovic Diteriaki Badut, Pelatih Juventus Ikut Kecam Suporter
Di babak adu penalti, keberuntungan tidak berpihak pada Tottenham Hotspur. Dua dari lima penendang penalti Spurs gagal menjalankan tugasnya, sementara PSG hanya kehilangan satu penendang. Alhasil, Tottenham harus mengakui keunggulan PSG dengan skor adu penalti 3-4, dan Les Parisiens pun merayakan gelar juara Piala Super Eropa.
Usai pertandingan, Thomas Frank menjelaskan alasannya menggunakan taktik yang cukup radikal dalam upaya meredam kekuatan PSG. Pelatih asal Denmark tersebut memasang Richarlison dan Mohammed Kudus sebagai dua penyerang dalam formasi 5-3-2, sebuah strategi yang diyakininya sebagai “senjata khusus” untuk menghadapi tim sekelas PSG.
Meskipun demikian, hasil akhir tidak sesuai dengan ekspektasi Frank, yang memicu penggunaan analogi medisnya. “Saya tahu kami harus melakukan sesuatu yang sedikit berbeda melawan PSG, jadi rasanya seperti operasi khusus,” kata Frank, seperti dikutip BolaSport.com dari ESPN. “Secara medis, operasinya berhasil, tetapi pasiennya meninggal. Jadi, hasilnya tidak terlalu bagus.”
RESMI – Sesama Eks Timnas Italia Junior, Cremonese Pilih Wakil Emil Audero
Frank mengakui bahwa meskipun rencana permainan yang disusun sedikit berbeda itu hampir berhasil, kekalahan melalui adu penalti adalah fakta yang harus diterima. “Kami menyusun rencana permainan yang sedikit berbeda dan kami hampir berhasil,” lanjutnya. “Saya pikir jika Anda bermain 2-2 melawan PSG, saya rasa Anda bisa menerimanya. Hasil tunggal itu bagus. Lalu jika Anda menang, kami harus adu penalti, kami kalah, jadi mungkin kami perlu memperbaiki adu penalti.”
Pelatih tersebut juga menyoroti pentingnya keahlian dalam adu penalti untuk memenangkan final. “Mungkin itulah yang dibutuhkan untuk memenangkan final,” ujarnya. Meskipun kalah, Frank tetap bangga dengan penampilan timnya. “Saya pikir jika semua orang mengatakan ini akan seri dan kami akan kalah adu penalti, semua orang akan berpikir ‘oh, itu cukup mengesankan.’ Dan kemudian jika Anda melihat performa dan perubahan yang mereka lakukan, wow. Mentalitas yang luar biasa sepanjang pertandingan. Jadi, banyak hal yang bisa dibanggakan,” pungkas Frank.
Ringkasan
Tottenham Hotspur mengalami kekalahan pahit dari Paris Saint-Germain (PSG) di Piala Super Eropa 2025 melalui adu penalti, setelah bermain imbang 2-2. Sempat unggul 2-0, Spurs harus mengakui keunggulan PSG setelah kebobolan di menit-menit akhir pertandingan. Pelatih Thomas Frank menganalogikan kekalahan ini seperti “operasi yang berhasil, tetapi pasien meninggal,” menggambarkan betapa dekatnya mereka dengan kemenangan.
Thomas Frank mengakui bahwa taktik yang ia terapkan, dengan formasi 5-3-2 dan menempatkan Richarlison dan Mohammed Kudus sebagai penyerang, hampir berhasil. Ia juga menyoroti pentingnya kemampuan dalam adu penalti untuk memenangkan pertandingan final. Meskipun kalah, Frank tetap bangga dengan penampilan dan mentalitas timnya sepanjang pertandingan.



