Perjanjian Dagang Bikin Penerimaan Negara Jebol? Ini Kata Kemenkeu!

Posted on

mellydia.co.id, JAKARTA — Pemerintah Indonesia tengah gencar memperluas basis penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai. Langkah strategis ini ditempuh sebagai respons atas proyeksi penurunan pendapatan yang signifikan, terutama akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) serta konsekuensi dari berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani.

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Febrio Nathan Kacaribu, dalam rapat Komisi XI DPR, Senin (17/11/2025), memaparkan bahwa target penerimaan bea cukai sebesar Rp336 triliun pada tahun depan diperkirakan akan terdampak oleh dinamika ekonomi global yang kompleks.

Dinamika global yang menjadi sorotan utama adalah penerapan bea masuk impor atau tarif resiprokal oleh AS. Produk dan komoditas unggulan Indonesia diproyeksikan akan dikenai tarif sebesar 19% saat memasuki pasar AS. Sebaliknya, produk-produk asal AS yang masuk ke pasar domestik Indonesia akan menikmati fasilitas bea masuk 0%. Kondisi ini menciptakan tantangan serius bagi penerimaan negara dari sektor kepabeanan.

: Mobil Eropa Bebas Bea Masuk Indonesia, Volkswagen Bakal Pangkas Harga?

Untuk mengimbangi tekanan dari tarif AS, Pemerintah Indonesia secara proaktif menandatangani sejumlah perjanjian ekonomi komprehensif (CEPA), termasuk Indonesia-Uni Eropa CEPA (IEU-CEPA). Manuver ini diharapkan dapat memperluas pangsa pasar ekspor Indonesia ke kawasan lain dan diversifikasi tujuan perdagangan.

Namun, konsekuensi dari penandatanganan CEPA ini adalah pemberian insentif timbal balik. Artinya, Indonesia dan Uni Eropa akan saling membebaskan atau menurunkan bea masuk untuk pengiriman barang satu sama lain. Hal ini, di satu sisi, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan volume perdagangan, tetapi di sisi lain, berpotensi mengikis penerimaan bea masuk.

“Ke depan akan menjadi sumber risiko pendapatan negara, kenapa? Karena kami harus memberikan konsesi-konsesi dalam konteks perjanjian dagang dengan Amerika dan juga termasuk Eropa. Kemarin sudah ditandatangani IEU-CEPA di mana di sana akan banyak penurunan bea masuk dan bea keluar untuk mendorong pertumbuhan ekonominya,” ungkap Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Selasa (18/11/2025).

: : Lindungi Industri Tekstil, Purbaya Kenakan Bea Masuk Pengamanan Benang Kapas

Di tengah tantangan ini, pemerintah terus mengintensifkan negosiasi dengan AS. Upaya utama adalah agar komoditas strategis Indonesia seperti kakao, sawit, serta terbaru tekstil dan alas kaki, dapat dikecualikan dari pengenaan tarif 19%. Selain itu, pemerintah juga sedang menyusun legal drafting yang kuat untuk mendukung posisi tawar Indonesia dalam perundingan.

Guna mengantisipasi potensi penurunan pemasukan akibat tarif AS dan IEU-CEPA, pemerintah berencana mencari peluang penerimaan kepabeanan dan cukai baru. Rencana tersebut mencakup pengenaan bea keluar untuk emas dan batu bara, serta pengenaan cukai pada Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Sebelumnya, pemerintah telah mengimplementasikan sumber penerimaan kepabeanan baru melalui bea keluar tembaga, seiring dengan izin ekspor konsentrat yang bersifat sementara. “Di mana konsentrat tembaga dikenakan bea keluar sehingga ada pendapatan dari sana, tetapi itu sifatnya tidak permanen. Kenapa? Karena arah kebijakan hilirisasi tetap kami dorong,” jelas Febrio.

Meskipun menghadapi ketidakpastian global, Dirjen Kemenkeu lulusan Universitas Indonesia (UI) ini optimistis pertumbuhan ekspor Indonesia akan tetap positif. Optimisme ini didukung oleh kinerja Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III/2025, di mana ekspor berhasil tumbuh hingga 9,91% (year-on-year). Namun, perlu dicatat bahwa pertumbuhan tinggi ini sebagian besar disebabkan oleh fenomena frontloading oleh para eksportir yang berupaya menghindari penerapan tarif 19% ke AS di kemudian hari.

Menurut Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, prospek ekspor Indonesia diperkirakan tetap cerah di tengah penerapan tarif 19% oleh AS. Meskipun demikian, beberapa komoditas seperti perikanan, minyak sawit olahan, dan komponen otomotif diperkirakan akan mengalami tekanan. Yusuf memperkirakan bahwa penurunan ekspor awal sebesar 12,4% pada periode Januari–Agustus 2025 dapat distabilkan melalui peningkatan impor energi dan produk pertanian dari AS. Strategi ini, dengan nilai potensi mencapai US$15 miliar, diharapkan mampu menjaga akses pasar sekaligus menyeimbangkan neraca perdagangan dalam jangka pendek, terangnya kepada Bisnis, Selasa (18/11/2025).

Lebih lanjut, dampak dari IEU-CEPA serta sejumlah perjanjian perdagangan bebas lain dengan Uni Emirat Arab (UAE), Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (EFTA), Kanada, dan Australia diperkirakan akan sangat signifikan terhadap ekspor Indonesia. Perjanjian-perjanjian ini mencakup penghapusan lebih dari 98% tarif pada produk ekspor strategis Indonesia. Penerapan tarif 0% untuk ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut diyakini tidak hanya akan meningkatkan daya saing harga, tetapi juga membuka peluang penetrasi pasar yang sebelumnya terhambat oleh hambatan non-tarif.

Komoditas seperti minyak sawit, perikanan, dan komponen otomotif diprediksi akan mengalami ekspansi volume ekspor secara substansial. “Secara kuantitatif, proyeksi pertumbuhan ekspor dapat mencapai 8–10% pada 2026, dengan kontribusi ekspor terhadap PDB tetap di kisaran 23–24%,” jelas Yusuf.

Meskipun ekspor diproyeksikan berkontribusi positif terhadap PDB, kebijakan baru dalam sektor kepabeanan ini diperkirakan akan menekan penerimaan APBN dari sektor tersebut. Pada APBN 2026, target penerimaan kepabeanan dan cukai adalah Rp336 triliun. “Meskipun pendapatan kepabeanan hingga Maret 2025 masih tumbuh 9,6% menjadi Rp77,5 triliun berkat meningkatnya volume perdagangan, potensi pengurangan tarif dari CEPA dan impor bebas tarif dari AS bisa menurunkan revenue secara signifikan jika tidak diimbangi oleh peningkatan volume perdagangan dan investasi asing langsung,” pungkas Yusuf.

Ringkasan

Pemerintah Indonesia berupaya memperluas penerimaan negara dari kepabeanan dan cukai karena adanya potensi penurunan pendapatan akibat kebijakan tarif impor AS dan perjanjian perdagangan bebas. Target penerimaan bea cukai sebesar Rp336 triliun pada tahun depan terancam oleh tarif resiprokal AS dan konsesi dalam perjanjian dagang, seperti IEU-CEPA, yang menurunkan bea masuk dan keluar.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah bernegosiasi dengan AS agar komoditas strategis dikecualikan dari tarif, dan mencari sumber penerimaan baru seperti bea keluar untuk emas dan batu bara serta cukai untuk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Meskipun demikian, pertumbuhan ekspor tetap diyakini positif, didukung oleh perjanjian perdagangan dengan negara lain, meskipun penerimaan APBN dari sektor kepabeanan diperkirakan akan tertekan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *