CENTER for Economic and Law Studies (Celios) secara tegas mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali skema insentif pajak, khususnya yang selama ini dialokasikan untuk kelompok super kaya. Seruan ini disampaikan oleh peneliti Celios, Jaya Darmawan, dalam sebuah diskusi publik yang sekaligus menandai peluncuran riset terbaru mereka berjudul “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”.
“Pemerintah perlu melakukan pengakhiran insentif pajak yang pro-konglomerat,” ujar Jaya di kantor Celios, Jakarta, pada Selasa, 12 Agustus 2025. Dalam pemaparannya, Jaya secara khusus menyoroti alokasi belanja perpajakan pemerintah yang mengalir deras kepada konglomerat. Data mengenai belanja perpajakan yang menguntungkan kelompok super kaya ini sebelumnya telah dirinci dalam Laporan Ketimpangan yang dirilis Celios pada tahun 2024, menunjukkan adanya ketimpangan yang signifikan dalam sistem pajak.
Merujuk pada data tahun 2024, Jaya mengungkapkan bahwa pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 137,4 triliun dari total belanja perpajakan yang mencapai Rp 400-500 triliun. Angka fantastis ini, menurutnya, merupakan bentuk “subsidi tersembunyi” (hidden subsidy) yang diberikan kepada dunia bisnis dan investasi. “Salah satunya untuk tax holiday, tax allowance, atau pengurangan pajak untuk sektor ekstraktif seperti geothermal. Nah ini perlu ditinjau ulang,” tegas Jaya, menekankan perlunya reformasi insentif tersebut agar lebih tepat sasaran dan berkeadilan.
Riset terbaru Celios menegaskan bahwa peninjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran ini berpotensi besar untuk meningkatkan penerimaan negara hingga Rp 137,4 triliun. Tak hanya itu, Celios juga merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan skema pajak progresif, salah satunya melalui pajak kekayaan. Dengan memberlakukan pajak kekayaan kepada 50 orang terkaya di Indonesia, proyeksi penerimaan negara dapat bertambah hingga Rp 81,6 triliun, membuka peluang besar bagi peningkatan kas negara dari sektor yang selama ini kurang optimal digali.
Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, menjelaskan bahwa pada prinsipnya, masyarakat memiliki kemauan untuk membayar pajak jika sistemnya dinilai berkeadilan. Namun, ia menyayangkan fakta bahwa, berdasarkan persentase pendapatan, masyarakat miskin justru membayar pajak lebih besar dibandingkan dengan orang-orang super kaya—mereka yang pendapatannya bisa mencapai puluhan miliar dalam sebulan. Ketimpangan ini menciptakan persepsi ketidakadilan yang merugikan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
Media lebih lanjut menguraikan bahwa kelompok super kaya, dengan penghasilan melimpah, tidak mungkin menghabiskan seluruh pendapatan mereka dalam satu waktu. Kondisi ini sangat kontras dengan masyarakat miskin yang, menurut Media, menghabiskan bahkan 120 persen dari pendapatannya untuk pengeluaran sehari-hari, di mana 20 persen di antaranya terpaksa ditutupi melalui utang. Perbedaan drastis dalam pola pengeluaran dan kemampuan finansial ini menjadi landasan kuat bagi urgensi penerapan kebijakan pajak yang lebih progresif.
Menanggapi hasil riset tersebut, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, yang turut hadir dalam diskusi, menyampaikan apresiasi atas temuan dan masukan yang dipaparkan Celios. Menurutnya, riset semacam ini adalah contoh nyata dari keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan dalam proses penyusunan kebijakan fiskal, menunjukkan kolaborasi yang konstruktif antara pemerintah dan lembaga riset.
Yon juga menyatakan komitmen untuk mendiskusikan lebih lanjut hasil riset Celios dengan jajaran Kementerian Keuangan. Ia mengakui bahwa implementasi rekomendasi tersebut memiliki beragam tingkat kesulitan dan waktu. “Itu ada yang mungkin levelnya cukup pakai Peraturan Menteri Keuangan, ada yang harus mengubah Undang-Undang, perjalanannya mungkin ada yang butuh waktu panjang, ada yang relatively dalam waktu pendek,” ucapnya, mengindikasikan bahwa beberapa perubahan kebijakan dapat dilakukan dengan cepat, sementara yang lain membutuhkan proses legislasi yang lebih panjang.
Pilihan Editor: Mengapa Utang Kereta Cepat Sulit Lunas
Ringkasan
Celios mendesak pemerintah untuk mengevaluasi insentif pajak yang selama ini dinikmati oleh kelompok super kaya. Riset Celios menunjukkan alokasi belanja perpajakan yang mengalir deras ke konglomerat, mencapai Rp 137,4 triliun dari total belanja perpajakan. Insentif pajak ini dianggap sebagai “subsidi tersembunyi” dan perlu ditinjau ulang agar lebih tepat sasaran dan berkeadilan.
Celios merekomendasikan peninjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran dan penerapan pajak progresif, seperti pajak kekayaan, yang berpotensi meningkatkan penerimaan negara hingga puluhan triliun rupiah. Staf Ahli Menteri Keuangan mengapresiasi riset Celios dan menyatakan komitmen untuk mendiskusikannya lebih lanjut, mengakui bahwa implementasi rekomendasi membutuhkan waktu dan proses yang berbeda-beda.