Kementerian Ketenagakerjaan melalui Menterinya, Yassierli, mengumumkan bahwa penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 kini masih berada dalam tahap pembahasan intensif. Diskusi krusial ini berlangsung secara berjenjang, mulai dari Dewan Pengupahan Nasional hingga berbagai Dewan Pengupahan di tingkat Provinsi.
Yassierli menekankan pentingnya ‘dialog sosial’ yang berkesinambungan dalam proses ini. Pihaknya secara aktif mengumpulkan masukan berharga dari berbagai pihak, termasuk perwakilan serikat pekerja dan para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). “Kami terus melakukan dialog sosial, mendapatkan masukan dari serikat pekerja dan kawan-kawan pengusaha di Apindo, tunggu saja,” ujarnya dalam konferensi pers di kantornya pada Rabu, 12 November 2025.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan telah menggarisbawahi bahwa arah penetapan UMP 2026 akan secara tegas mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023. Keputusan fundamental ini telah mencabut dan merevisi 21 pasal krusial dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang sebelumnya dianggap bertentangan dengan UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan tata cara penghitungan upah minimum.
Implikasi langsung dari putusan MK ini adalah perubahan mendasar pada mekanisme penghitungan upah minimum. Formula yang sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023, dengan penggunaan “indeks tertentu” atau variabel alfa (0,10–0,30) untuk mengukur kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, kini tidak lagi berlaku. Sebagai gantinya, penghitungan upah minimum wajib berpijak pada prinsip kebutuhan hidup layak, sebuah landasan yang termaktub jelas dalam konstitusi.
Dari sisi pekerja, Partai Buruh menyuarakan aspirasi kuat untuk kenaikan UMP 2026. Mereka mengusulkan angka ideal sebesar 8,5 persen hingga 10 persen. Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menegaskan bahwa lonjakan upah ini esensial untuk memulihkan dan meningkatkan daya beli masyarakat yang saat ini dinilai sedang lesu.
Said Iqbal juga menyertakan harapan besar kepada pucuk kepemimpinan negara. “Kami percaya, bapak Presiden Prabowo Subianto akan bijaksana memperhatikan usulan buruh,” ungkapnya dalam konferensi pers yang diselenggarakan pada Ahad, 9 November 2025.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh kalangan pengusaha. Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia, Anne Patricia Sutanto, menyerukan agar pemerintah secara serius mempertimbangkan ketersediaan lapangan kerja dalam proses penetapan UMP 2026. Menurutnya, kenaikan upah minimum yang terlalu agresif berpotensi membuat investor asing maupun domestik berpikir ulang untuk menanamkan investasi di Indonesia.
Anne juga menyoroti pengalaman sebelumnya, di mana kenaikan UMP sebesar 6,5 persen pada tahun ini justru tidak berbanding lurus dengan peningkatan jumlah lapangan kerja. Ia lantas melontarkan imbauan tegas: “Jadi kali ini simpan ego kita, bagi semua yang menjadi penentu upah minimum,” pungkasnya pada Selasa, 4 November 2025, mengisyaratkan perlunya kebijakan yang lebih komprehensif dan seimbang.
Nandito Putra dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Ringkasan
Kementerian Ketenagakerjaan sedang dalam tahap pembahasan intensif mengenai penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 melalui dialog sosial dengan serikat pekerja dan Apindo. Arah penetapan UMP 2026 akan mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXI/2023 yang merevisi Undang-Undang Cipta Kerja terkait penghitungan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak.
Partai Buruh mengusulkan kenaikan UMP 2026 sebesar 8,5% hingga 10% untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Sementara itu, pengusaha melalui Asosiasi Garment dan Textile Indonesia menekankan pentingnya mempertimbangkan ketersediaan lapangan kerja dalam penetapan UMP, mengingatkan bahwa kenaikan upah minimum yang terlalu tinggi dapat mengurangi investasi dan lapangan kerja.



