Redenominasi Rupiah: Kenapa Sekarang Bukan Waktu yang Tepat?

Posted on

Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka, namun mendapat sorotan tajam dari ekonom. Nailul Huda dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan bahwa rencana penyesuaian nilai mata uang ini belum saatnya diterapkan. Ia menekankan perlunya pertimbangan mendalam terkait kondisi ekonomi, keuangan negara, serta kesiapan masyarakat saat ini.

Menurut Huda, butuh biaya yang sangat besar untuk merealisasikan redenominasi, suatu beban yang harus ditanggung baik oleh negara maupun sektor swasta. Ia bahkan menyebutkan bahwa “In this economy, nampaknya masih tidak diperlukan redenominasi rupiah,” seperti disampaikannya kepada Tempo pada Sabtu, 8 November 2025. Ini mengindikasikan bahwa kondisi ekonomi saat ini belum memungkinkan untuk menanggung pengeluaran signifikan tersebut.

Sebagai informasi, redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai mata uang, misalnya menghilangkan beberapa nol, tanpa mengubah nilai tukarnya. Wacana ini secara resmi tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029. PMK ini, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, telah diundangkan pada 3 November 2025, memicu kembali diskusi publik tentang prospek redenominasi rupiah.

Huda lebih lanjut menguraikan bahwa apabila redenominasi rupiah dipaksakan tanpa memperhatikan kondisi ekonomi sekarang, sektor swasta akan menghadapi biaya penyesuaian sistem kerja yang tidak sedikit. Biaya ini diperkirakan dapat mencapai ratusan miliar rupiah, meliputi percetakan uang baru hingga peralihan sistem. Beban finansial yang besar ini, baik bagi negara maupun swasta, berpotensi memberikan tekanan baru pada ekonomi yang sedang berjalan.

Selain itu, risiko kegagalan redenominasi dinilai cukup tinggi dan berpotensi memicu inflasi. Kegagalan ini terutama disebabkan oleh perbedaan pemahaman masyarakat tentang apa itu redenominasi. Perkiraannya, warga di kota besar seperti Jakarta mungkin lebih mudah mencerna informasi ini, namun pemahaman bisa berbeda jauh di daerah lain. Kesenjangan informasi ini dikhawatirkan dapat menimbulkan kenaikan harga barang dan jasa, yang pada gilirannya akan meningkatkan inflasi secara tajam dan menekan daya beli masyarakat.

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah, yang dipaparkan dalam PMK 70, merupakan RUU luncuran dari usulan Kementerian Keuangan dengan kerangka regulasi yang ditargetkan selesai dibahas pada tahun 2026. Dalam PMK tersebut, dijelaskan empat urgensi utama pembentukan RUU redenominasi. Pertama, untuk mencapai efisiensi perekonomian melalui peningkatan daya saing nasional. Kedua, guna menjaga kesinambungan perkembangan ekonomi nasional. Ketiga, memastikan stabilitas nilai rupiah sebagai upaya memelihara daya beli masyarakat. Dan terakhir, untuk meningkatkan kredibilitas rupiah di mata dunia.

Meski pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, dapat mengusulkan UU terkait redenominasi rupiah kepada parlemen, Huda berpendapat bahwa narasi tentang urgensi ini lebih tepat disampaikan oleh otoritas moneter, yakni Bank Indonesia. Isu redenominasi sebelumnya juga pernah dimasukkan dalam PMK terdahulu, namun belum pernah dibahas dan disetujui hingga saat ini. “Jadi lead isu ini di bidang moneter bukan fiskal atau Kemenkeu,” tegasnya, menyoroti bahwa peran utama dalam isu ini seharusnya berada di ranah kebijakan moneter, bukan fiskal.

Ringkasan

Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat, namun ekonom menilai ini bukan waktu yang tepat. Nailul Huda dari Celios menekankan perlunya pertimbangan mendalam terkait kondisi ekonomi dan kesiapan masyarakat, mengingat realisasi redenominasi membutuhkan biaya besar bagi negara dan swasta. Menurutnya, beban finansial ini berpotensi menekan ekonomi yang sedang berjalan.

Selain itu, risiko kegagalan redenominasi dinilai tinggi dan berpotensi memicu inflasi akibat perbedaan pemahaman masyarakat. Huda berpendapat narasi urgensi redenominasi lebih tepat disampaikan oleh Bank Indonesia, bukan Kementerian Keuangan, karena isu ini lebih relevan dengan kebijakan moneter.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *