KSPN: Mayoritas Buruh Korban PHK Berasal dari Sektor Padat Karya

Posted on

KONFEDERASI Serikat Pekerja Nasional (KSPN) mengungkapkan data mengkhawatirkan terkait gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Tanah Air. Tercatat sebanyak 126.160 buruh dari anggotanya telah menjadi korban PHK dalam kurun waktu 2023 hingga Oktober 2025. Tekanan berat ini semakin terasa mengingat Presiden KSPN, Ristadi, dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 8 November 2025, merinci bahwa 99.666 pekerja di antaranya berasal dari sektor padat karya, sebuah indikator alarm bagi keberlangsungan industri yang seharusnya menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja.

Data ratusan ribu buruh yang kehilangan pekerjaan ini merupakan hasil akumulasi laporan yang diterima Dewan Pengurus Pusat (DPP) KSPN. Laporan tersebut mencakup periode Januari hingga Oktober 2025, ditambah dengan beberapa kasus PHK yang terjadi pada tahun 2023. Angka ini dengan jelas menunjukkan bahwa isu PHK bukanlah fenomena sesaat, melainkan tantangan berkelanjutan yang terus membayangi pekerja di berbagai sektor industri.

Ristadi menjelaskan lebih lanjut bahwa dari total 126 ribu buruh yang terdampak, mayoritas atau sekitar 99 ribu pekerja (79 persen) berasal dari sektor padat karya, khususnya industri tekstil, garmen, dan sepatu. Mereka tersebar di 59 perusahaan tekstil dan produk tekstil (TPT). Sisanya, merupakan pekerja dari sektor non-TPT, meliputi retail, perkebunan/perhutanan, otomotif, hingga pertambangan. Ironisnya, dari 59 perusahaan TPT tersebut, hanya tiga yang berorientasi pada pasar ekspor, sementara sisanya melayani pasar domestik atau campuran, menandakan kerentanan terhadap dinamika ekonomi dan daya saing di pasar lokal.

Secara geografis, dampak PHK ini terpusat di pulau Jawa, dengan Jawa Tengah menjadi provinsi yang paling terpukul. Sebanyak 47.940 orang atau 38 persen dari total buruh KSPN yang terkena PHK berasal dari wilayah ini. Menyusul di belakangnya adalah Jawa Barat dengan 39.109 pekerja (31 persen) dan Banten dengan 21.447 pekerja (17 persen). Di luar Jawa, Sulawesi Tenggara juga mencatat angka signifikan dengan 7.569 pekerja (6 persen), sementara 10.095 pekerja (8 persen) tersebar di Jakarta, Nusa Tenggara Barat, dan wilayah lainnya, menggambarkan sebaran masalah yang luas.

Menurut Ristadi, akar permasalahan utama dari gelombang PHK masif ini adalah tekanan berat yang dialami perusahaan lokal akibat banjir produk impor. “Isu ini memang menjadi sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi ataupun terhadap eksistensi organisasi kami,” tegas Ristadi, menggarisbawahi dampak multidimensional dari fenomena ini terhadap stabilitas ekonomi nasional dan keberadaan organisasi pekerja.

Hasil konfirmasi langsung dengan berbagai perusahaan mengungkap beberapa penyebab spesifik PHK. Salah satu pemicu utama adalah berkurangnya pesanan, bahkan hingga tidak adanya pesanan sama sekali, yang memaksa manajemen untuk menghentikan total produksi. Selain itu, penurunan kualitas dan kuantitas produk akibat mesin produksi yang usang atau tidak diperbarui turut memperparah kondisi, membuat harga produk tidak lagi kompetitif dan sulit menutupi ongkos produksi yang tinggi.

Faktor lain yang tidak kalah krusial adalah kondisi keuangan perusahaan yang memburuk, seperti kasus gagal bayar utang hingga dinyatakan pailit oleh pengadilan. Lebih lanjut, ketidakmampuan bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar domestik juga menjadi dalih kuat bagi perusahaan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, menambah daftar panjang tantangan yang dihadakan industri dalam negeri.

Pilihan Editor: Bekerja di Bawah Ancaman PHK

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *