Tips Investasi ala David Sutyanto: Suka Saham dengan Dividend Yield Tinggi

Posted on

mellydia.co.id JAKARTA. Perjalanan David Sutyanto, Direktur Eksekutif CSA Institute, menapaki dunia pasar modal bermula dari bangku kuliah. Sebuah tugas kuliah tentang pasar modal di Universitas Gunadarma, tempat ia menempuh jurusan akuntansi dan keuangan, menjadi titik awalnya. Dibantu oleh saudaranya yang sudah lebih dulu berkecimpung di industri ini, David mulai menelusuri seluk-beluknya.

Dari tugas itulah, benih ketertarikan David tumbuh menjadi cinta. Ia pun mendalami dunia ini hingga skripsinya berfokus pada saham, khususnya terkait price earning ratio dan penerapan good corporate governance (GCG). “Pertama kali saya tertarik dengan price earning ratio, kemudian skripsi saya kaitan dengan penerapan good corporate governance,” jelasnya kepada KONTAN.

Tak hanya teori, David juga mempraktikkan langsung ilmunya dengan berinvestasi saham sejak mahasiswa. Ia membuka rekening saham pada tahun 2009, sebuah proses yang kala itu tidak semudah sekarang. David mengenang, untuk membuka rekening saham, diperlukan modal deposit sekitar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Namun, keberadaan saudaranya yang bekerja di perusahaan sekuritas sangat membantunya.

Bahkan sebelum menyelesaikan studi S1-nya, David sudah dilamar oleh sebuah perusahaan sekuritas. Bekerja di sana, ia semakin mendalami pasar modal, bukan hanya sebagai investor tetapi juga sebagai analis saham. Pengalaman praktis ini semakin memantapkannya untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB) jurusan manajemen.

Di jenjang pascasarjana, David melakukan penelitian mendalam mengenai analisis pengaruh penyederhanaan ukuran tick terhadap perdagangan dan imbal hasil saham di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perubahan tick ternyata memberikan dampak positif pada pasar. Namun, ia mencatat bahwa hal ini kurang disukai oleh pengelola dana atau fund manager karena cenderung meningkatkan fluktuasi harga saham.

Haus akan ilmu, David melanjutkan studi ke jenjang S3 di kampus yang sama, dengan fokus pada behavior finance. Penelitian doktoralnya mengungkapkan fenomena menarik tentang keengganan investor untuk melakukan cut loss. “Ternyata ada efek disposisi, di mana seorang investor kecenderungan menjual saham yang sedang menguntungkan terlalu dini, tetapi menahan saham yang merugi terlalu lama,” terang David.

Menurut David, secara psikologis, keengganan untuk melakukan cut loss adalah hal yang wajar. Manusia cenderung menghindari rasa sakit, dan kerugian atau cut loss memberikan rasa sakit yang membekas. Investor akan lebih mudah mengingat kerugian daripada keuntungan dari capital gain. “Begitu cut loss sakit karena tidak ingin sakit, investor akan cenderung menahan. Oleh karena itu, bisa belajar untuk melihat grafik hanya sekadar angka, tidak lebih dari itu,” sarannya.

Meskipun menyadari tidak semua investor dapat menganggap kerugian sebagai hal yang mudah dilewati, David mengingatkan pentingnya tidak berlarut-larut dan berani mengambil keputusan untuk cut loss. Ia mencontohkan, jika seorang investor membeli saham di harga Rp 1.000 lalu turun menjadi Rp 500, kerugiannya mencapai 50%. Probabilitas saham tersebut untuk naik kembali 50% ke titik semula akan sangat kecil.

“Lebih besar probabilitas suatu saham naik 5% hingga 10% dan ketika cut loss, investor punya kesempatan untuk pindah ke saham-saham yang bisa naik 5%,” jelasnya, menekankan pentingnya efisiensi modal dan peluang di pasar.

Racikan Investasi David Sutyanto

David Sutyanto memiliki strategi investasi yang unik. Dari total portfolionya, 50% dialokasikan dalam bentuk cash, 30% pada instrumen yang menawarkan passive income seperti obligasi dan dividen saham, sementara sisanya diperuntukkan bagi trading harian.

Untuk investasi saham jangka panjang, David sangat menyukai saham-saham yang konsisten memberikan dividen dengan dividend yield yang menarik. Kriterianya adalah dividend yield minimal setara dengan bunga obligasi, yaitu di kisaran 6%–7%. “Untuk memilih saham yang membagikan dividen, saya punya acuan dari obligasi. Kalau dividend yield di kisaran 6%–7% saya berani untuk masuk,” imbuhnya.

Dalam menghadapi kondisi pasar yang tidak selalu bullish dan potensi koreksi harga saham, David menerapkan strategi averaging down. Strategi ini ia lakukan terhadap saham-saham dengan fundamental kuat dan rekam jejak historis pembagian dividen yang rajin. Ia biasanya mengalokasikan dana tertentu untuk satu saham. Jika harga saham tersebut turun dan ia masih memiliki dana, ia akan menambah kepemilikan. “Saya targetkan satu saham, misalnya sampai Rp 30 juta. Saya akan mulai beli secara perlahan. Misalkan sahamnya turun saya akan tambah lagi, tetapi kalau harga sahamnya turun terus saya akan stop,” ucap David, menunjukkan pendekatan disiplinnya.

Berbekal penelitian dan pengalaman luasnya, David memahami bahwa setiap individu memiliki gaya investasi yang berbeda. Strategi yang ia terapkan belum tentu cocok untuk investor lain. Oleh karena itu, ia menyarankan investor, khususnya investor muda, untuk mencoba berbagai gaya investasi. Menurutnya, modal kecil bukanlah penghalang untuk belajar, melainkan justru menjadi bekal berharga dalam menemukan gaya investasi yang paling sesuai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *