Bank Indonesia (BI) telah menunjukkan komitmen kuat dalam menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional melalui serangkaian kebijakan strategis. Hingga akhir Oktober 2025, bank sentral mencatatkan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder yang mencapai angka fantastis, yakni Rp269,97 triliun.
Secara lebih rinci, Gubernur BI Perry Warjiyo dalam paparannya pada Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Gedung Thamrin, Jakarta, Senin (3/11/2025), menjelaskan bahwa Rp199,9 triliun dari angka tersebut merupakan hasil pembelian langsung melalui pasar sekunder SBN dan program debt switching bersama pemerintah. Langkah ini merupakan bagian integral dari empat kebijakan utama BI yang diimplementasikan sepanjang tahun ini.
Empat pilar kebijakan BI tersebut mencakup penurunan suku bunga kebijakan (BI-Rate), stabilisasi nilai tukar rupiah, ekspansi likuiditas moneter, serta intervensi aktif melalui pembelian SBN di pasar sekunder. Keseluruhan strategi ini dirancang untuk menciptakan lingkungan ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan dan stabilitas.
Tidak hanya itu, kebijakan makroprudensial juga terus diperkuat guna mendorong penurunan suku bunga kredit dan meningkatkan likuiditas perbankan. Harapannya, upaya ini akan mempercepat laju pertumbuhan kredit yang pada September 2025 sudah mencapai 7,7 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), sekaligus mendukung sektor riil.
Dalam ranah ekspansi likuiditas moneter, BI menerapkan strategi operasi pasar yang pro-market. Pendekatan ini bertujuan untuk memperkuat transmisi penurunan suku bunga, serta memperdalam pasar uang dan pasar valuta asing di Tanah Air.
Salah satu wujud nyata dari ekspansi likuiditas tersebut adalah penurunan outstanding Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Sejak awal tahun, nilai SRBI berhasil diturunkan sebesar Rp210,8 triliun, dari Rp916,9 triliun menjadi Rp706,1 triliun per 27 Oktober 2025, sebagaimana disampaikan oleh Perry.
Selain itu, BI juga menurunkan suku bunga deposit facility menjadi 3,75 persen. Kebijakan ini dimaksudkan agar perbankan lebih termotivasi menyalurkan kelebihan likuiditas yang dimilikinya ke sektor riil, sehingga percepatan penyaluran kredit dan dukungan terhadap aktivitas produksi nasional dapat tercapai.
Penguatan kebijakan BI juga terlihat dari pendalaman pasar uang dan valas melalui perluasan instrumen underlying repo dalam operasi moneter. Instrumen tersebut kini menggunakan surat berharga berkualitas tinggi, termasuk sekuritas korporasi yang diterbitkan lembaga jasa keuangan milik pemerintah. Ini adalah langkah maju untuk meningkatkan efisiensi pasar.
Inovasi tidak berhenti di situ, BI juga meluncurkan Bank Indonesia Floating Rate Note (BI-FRN) dan mengembangkan instrumen Overnight Index Swap (OIS) untuk tenor di atas overnight. Langkah progresif ini ditujukan untuk membentuk struktur suku bunga pasar yang lebih efisien sekaligus memperluas basis investor, baik dari kalangan bank, nonbank, maupun investor asing.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa turut mengumumkan bahwa pasar Surat Berharga Negara (SBN) melanjutkan tren perbaikan yang positif sepanjang kuartal III 2025. Performa ini menjadi indikator kepercayaan pasar terhadap fundamental ekonomi Indonesia.
Purbaya menjelaskan bahwa imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) seri benchmark tenor 10 tahun turun signifikan sebesar 62 basis poin (bps) secara tahun berjalan (year-to-date/ytd) ke level 6,36 persen pada akhir kuartal III 2025. Tren positif ini terus berlanjut hingga 31 Oktober 2025, di mana yield kembali menurun ke level 6,07 persen, atau turun 95 bps ytd.
Tak hanya itu, selisih imbal hasil (spread) SUN seri benchmark tenor 10 tahun dengan US Treasury tenor 10 tahun juga menyempit. Spread ini turun ke level 221 bps pada akhir kuartal III 2025 dan terus membaik hingga 196 bps pada 31 Oktober 2025, menunjukkan peningkatan daya tarik SBN Indonesia di mata investor global.
Kinerja pasar perdana SBN juga terpantau sangat kuat, dengan bid to cover ratio yang mencapai 3,86 kali selama kuartal III 2025. Angka ini mencerminkan tingginya minat investor terhadap penerbitan SBN baru.
“Kinerja pasar SBN didukung oleh likuiditas domestik yang memadai, kinerja fiskal yang kuat, serta prospek perekonomian domestik yang solid,” ujar Purbaya, menegaskan fondasi kuat yang menopang pasar keuangan Indonesia.
Berdasarkan data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), total outstanding SBN tercatat sebesar Rp6.592 triliun per akhir September 2025. Angka ini terdiri dari Surat Utang Negara (SUN) sebesar Rp5.301 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) senilai Rp1.290 triliun.
Rincian dari SUN menunjukkan dominasi Obligasi Negara (SUN jangka panjang) sebesar Rp5.243 triliun, sementara Surat Perbendaharaan Negara (SPN) yang berjangka pendek berkontribusi sebesar Rp58,7 triliun.
Dalam hal kepemilikan SBN, mayoritas SUN dipegang oleh bank swasta nasional dengan porsi Rp526 triliun, diikuti oleh bank pemerintah/BUMN sebesar Rp316,5 triliun, dan bank asing sebesar Rp74,9 triliun. Sementara untuk SPN, kepemilikan terbesar ada pada bank pemerintah sejumlah Rp3,45 triliun dan bank asing sebesar Rp2,58 triliun, melengkapi gambaran struktur kepemilikan di pasar SBN.

							

