PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) tengah menghadapi tantangan finansial serius yang memaksa perseroan berencana menunda pembayaran pokok Sukuk Mudharabah Berkelanjutan III Wijaya Karya Tahap I Tahun 2022 senilai Rp281,81 miliar. Kabar ini menjadi sorotan di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, seperti yang disampaikan melalui keterbukaan informasi perusahaan.
Surat utang syariah tersebut, yang diterbitkan pada 3 November 2022, terbagi dalam tiga seri dengan jangka waktu berbeda. Seri A, dengan nilai Rp109,32 miliar, memiliki tenor tiga tahun dan dijadwalkan jatuh tempo pada 3 November 2025. Sementara itu, Sukuk Seri B senilai Rp140,49 miliar akan jatuh tempo dalam lima tahun, dan Seri C sebesar Rp32 miliar memiliki tenor tujuh tahun terhitung sejak tanggal emisi.
Corporate Secretary WIKA, Ngatemin alias Emin, menjelaskan bahwa penundaan ini, khususnya untuk Sukuk Seri A, disebabkan oleh kondisi pasar industri konstruksi nasional yang lesu. Penurunan ini diperparah oleh kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Imbasnya, WIKA mengalami penurunan signifikan dalam perolehan kontrak baru, penjualan, dan penerimaan kas, sehingga membatasi ketersediaan kas bebas (unrestricted cash) untuk memenuhi kewajiban pembayaran pokok sukuk.
Meskipun demikian, WIKA tidak tinggal diam. Perseroan telah berupaya melakukan langkah transformasi dan berhasil membukukan kinerja positif pada bisnis intinya, terutama dari sisi EBITDA operasi di luar entitas pengendalian bersama. Namun, Emin menekankan bahwa WIKA masih memerlukan waktu dan dukungan penuh dari seluruh pihak untuk menyehatkan kondisi usaha, keuangan, dan memastikan pemenuhan layanan utang.
Dalam upaya mencari solusi, WIKA telah menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Sukuk (RUPSU) pada 22 Oktober 2025. Dalam rapat tersebut, WIKA mengusulkan perpanjangan jatuh tempo pokok Sukuk Seri A selama dua tahun, dari semula 3 November 2025 menjadi 3 November 2027. Selain itu, perseroan juga mengusulkan penambahan ketentuan opsi beli (call option) pada Perjanjian Perwaliamanatan untuk seluruh seri (A, B, dan C) pada setiap periode pembayaran kupon/imbal hasil, tanpa mengubah besaran nilai kupon/imbal hasil.
Sayangnya, usulan yang disampaikan tersebut belum mencapai kuorum persetujuan dari para pemegang sukuk, sehingga RUPSU tidak dapat mengambil keputusan. Oleh karena itu, WIKA berencana untuk kembali berdiskusi dengan Wali Amanat serta para pemegang sukuk guna mencapai kesepakatan dalam RUPSU yang akan dilaksanakan berikutnya.
Kondisi keuangan WIKA memang menunjukkan tekanan yang signifikan. Hingga September 2025, perseroan hanya mampu mengantongi kontrak baru sebesar Rp6,19 triliun, anjlok drastis 60,25% secara tahunan (YoY) dibandingkan Rp15,58 triliun pada September 2024. Penurunan ini mencerminkan dampak langsung dari kondisi pasar yang disebutkan sebelumnya.
Lebih lanjut, laporan keuangan WIKA per kuartal III 2025 mencatat rugi bersih sebesar Rp3,21 triliun. Total ekuitas perseroan juga merosot menjadi Rp8,57 triliun di kuartal III 2025, dari Rp11,87 triliun di akhir tahun 2024. WIKA juga menghadapi defisit akumulasi sebesar Rp12,75 triliun per kuartal III 2025, meningkat tajam dari defisit Rp9,53 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Posisi kas dan setara kas akhir periode perseroan juga tergerus menjadi Rp1,54 triliun di akhir September 2025, jauh menurun dari Rp5,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya, mengindikasikan tekanan likuiditas yang mendalam.



