
Wacana kenaikan tarif bus Transjakarta dari Rp 3.500 menjadi Rp 5.000 atau bahkan Rp 7.000 tengah menjadi sorotan publik. Menanggapi rencana tersebut, Deputy Director Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia, Deliani Siregar, menegaskan adanya sejumlah catatan krusial yang perlu dipertimbangkan secara mendalam. Meskipun prinsip penyesuaian tarif Transjakarta disepakati, Deliani mengingatkan agar pemerintah tidak terburu-buru mengimplementasikan angka kenaikan yang terlampau tinggi, khususnya Rp 5.000 atau Rp 7.000. Pernyataan ini disampaikannya saat ditemui di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, pada Sabtu, 1 November 2025.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Jakarta memang tengah intens mengkaji perubahan tarif bus Transjakarta. Gubernur Jakarta Pramono Anung sebelumnya telah mengisyaratkan bahwa tarif angkutan umum yang dikelola oleh badan usaha milik daerah PT Transportasi Jakarta tersebut akan mengalami kenaikan dari harga historisnya yang sebesar Rp 3.500.
Dalam pandangannya, Deliani menekankan pentingnya survei yang lebih komprehensif untuk mendapatkan perspektif masyarakat secara menyeluruh. Ia menjelaskan bahwa meskipun Upah Minimum Regional (UMR) di Jakarta relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lain, faktor ini tidak serta-merta menjadi penentu tunggal dalam menetapkan tarif Transjakarta yang baru.
Lebih lanjut, Deliani menyoroti perlunya meninjau keseimbangan antara kenaikan tarif dengan kualitas fasilitas yang tersedia. Ia mengakui bahwa banyak tanggapan di media sosial menunjukkan fasilitas yang sudah layak. Namun, menurutnya, hal tersebut belum tentu dirasakan merata oleh seluruh penumpang di berbagai titik. Salah satu contoh krusial yang ia sampaikan adalah masih minimnya aksesibilitas yang memadai bagi penyandang disabilitas di sejumlah halte dan armada.
Kondisi ini diperparah dengan temuan di lapangan, di mana halte untuk bus non-BRT Transjakarta masih banyak yang berada di area tersembunyi atau bahkan “di semak-semak.” Situasi ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan dan menimbulkan isu keamanan bagi para calon penumpang yang menunggu.
Untuk memastikan keputusan yang adil, Deliani menyarankan agar mempertimbangkan berbagai perspektif global, salah satunya rekomendasi Bank Dunia (World Bank) yang menyebutkan bahwa biaya transportasi idealnya tidak lebih dari 10 persen dari total pendapatan. Selain itu, perbandingan dengan biaya operasional transportasi pribadi, seperti sepeda motor atau mobil, termasuk biaya bahan bakar dan perawatannya, juga perlu menjadi tolok ukur dalam menentukan besaran tarif Transjakarta.
Meski belum melakukan kajian khusus mengenai angka kenaikan tarif Transjakarta secara mendalam, ITDP Indonesia secara tegas menyatakan bahwa apabila tarif Transjakarta benar-benar dinaikkan, langkah ini harus dibarengi dengan komitmen serius untuk penambahan dan peningkatan fasilitas yang mumpuni serta inklusif bagi semua kalangan masyarakat.
Dari sisi pemerintah, Gubernur Pramono Anung menjelaskan bahwa penentuan tarif baru Transjakarta mempertimbangkan dua aspek utama: kondisi ekonomi masyarakat dan keberlanjutan operasional PT Transportasi Jakarta sebagai perusahaan daerah. Ia tidak menampik bahwa kenaikan tarif ini merupakan imbas dari berkurangnya alokasi subsidi Transjakarta yang diberikan oleh pemerintah daerah. Saat ini, Pemerintah Provinsi Jakarta masih menyubsidi sebesar Rp 9.700 per penumpang. Beban subsidi ini diperkirakan akan semakin berat karena adanya rencana pemotongan dana bagi hasil yang dikirimkan pemerintah pusat ke daerah untuk anggaran tahun depan.
Menyikapi polemik ini, Pramono Anung memastikan bahwa keputusan final mengenai tarif Transjakarta akan diambil dengan mempertimbangkan secara matang “kemampuan masyarakat.” Pernyataan tersebut disampaikan oleh Gubernur di Balai Kota Jakarta pada Rabu, 29 Oktober 2025.
Perlu diketahui, wacana kenaikan tarif Transjakarta bukanlah hal baru; rencana ini telah berkali-kali mencuat dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, harga baru untuk layanan angkutan umum yang vital ini belum juga kunjung ditetapkan. Fakta menariknya adalah tarif Transjakarta sebesar Rp 3.500 per orang saat ini tidak pernah berubah sejak Transjakarta pertama kali beroperasi pada tahun 2005, menjadikannya salah satu tarif transportasi publik yang paling stabil di tengah dinamika ekonomi kota.
Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Agar Ekspansi Transjakarta Tak Jadi Beban Subsidi
Ringkasan
Wacana kenaikan tarif Transjakarta menjadi sorotan, dengan usulan tarif baru mencapai Rp 5.000 atau Rp 7.000. Pengamat dari ITDP Indonesia menekankan pentingnya survei komprehensif dan pertimbangan kemampuan masyarakat sebelum implementasi. Keseimbangan antara kenaikan tarif dan peningkatan kualitas fasilitas, termasuk aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, juga menjadi perhatian utama.
Pemerintah Provinsi Jakarta mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat dan keberlanjutan operasional Transjakarta dalam penentuan tarif baru. Kenaikan tarif dipicu oleh berkurangnya subsidi pemerintah daerah, meskipun subsidi saat ini masih Rp 9.700 per penumpang. Keputusan final akan diambil dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat dan tarif Transjakarta belum berubah sejak tahun 2005.



