Rumor Serangan AS ke Venezuela Picu Harga Minyak Dunia Naik?

Posted on

HOUSTON – Harga minyak dunia mengakhiri pekan perdagangan pada Jumat (31/10/2025) dengan sedikit penguatan, setelah sebelumnya mengalami fluktuasi tajam. Gejolak harga ini dipicu oleh laporan media yang mengindikasikan kemungkinan Amerika Serikat melancarkan serangan udara terhadap Venezuela. Namun, kenaikan tersebut segera tertahan setelah Presiden AS Donald Trump dengan cepat membantah kabar tersebut melalui media sosialnya.

Mengutip data perdagangan, harga minyak mentah Brent berhasil naik tipis 7 sen, atau setara dengan 0,11%, mencapai level US$65,07 per barel. Sementara itu, minyak mentah AS West Texas Intermediate (WTI) juga menunjukkan penguatan 41 sen, atau 0,68%, ditutup pada US$60,98 per barel.

Situasi ini memunculkan pertanyaan di kalangan analis pasar, dengan Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group, menyindir, “Apakah ini ‘trik atau perlakuan’ dari Donald Trump?” Flynn mengingatkan kembali insiden awal tahun ini, ketika Trump juga sempat membantah rencana serangan ke Iran, namun beberapa hari kemudian justru melancarkan serangan udara ke negara tersebut. Kabar mengenai potensi serangan ke Venezuela ini sempat memicu reaksi kuat di pasar, dan Flynn menambahkan, “Jika serangan benar terjadi akhir pekan ini, harga minyak bisa melonjak tajam pada Senin.”

Ketegangan semakin memanas setelah AS mengerahkan gugus tugas angkatan laut yang dipimpin oleh kapal induk terbesar mereka, USS Gerald Ford, di lepas pantai Venezuela. Langkah ini dianggap jauh melampaui kebutuhan operasi standar untuk memerangi penyelundup narkoba di kawasan Karibia, alasan resmi yang selama ini dikemukakan Washington. John Kilduff, mitra di Again Capital LLC, menggambarkan reaksi pasar terhadap pergerakan militer ini sebagai “situasi klasik bagi para trader minyak: beli dulu, baru cari tahu kemudian,” mencerminkan spekulasi yang meluas.

Di sisi lain, beberapa faktor turut memengaruhi pergerakan harga minyak dunia. Penguatan dolar AS ke level tertinggi dalam tiga bulan terakhir terhadap mata uang utama global membuat komoditas berdenominasi dolar, termasuk minyak, menjadi lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain. Selain itu, sentimen pasar juga tertekan oleh laporan sumber Reuters yang menyebutkan bahwa Arab Saudi berpotensi menurunkan harga jual minyak untuk pembeli Asia pada Desember, mencapai level terendah dalam beberapa bulan terakhir, sebuah indikasi bearish di pasar.

Dari Asia, tekanan tambahan datang dari survei resmi yang menunjukkan aktivitas manufaktur China menyusut selama tujuh bulan berturut-turut pada Oktober, menandakan potensi perlambatan permintaan. Secara bulanan, harga minyak Brent dan WTI masing-masing mencatat penurunan 2,6% dan 2% sepanjang Oktober. Penurunan ini seiring dengan peningkatan produksi oleh OPEC dan negara non-OPEC, yang diperkirakan dapat meredam dampak sanksi Barat terhadap ekspor minyak Rusia ke China dan India, menambah pasokan minyak di pasar global.

Melihat ke depan, survei Reuters memperkirakan harga minyak Brent akan rata-rata US$67,99 per barel pada tahun 2025, sedikit naik 38 sen dari perkiraan bulan sebelumnya. Sementara itu, WTI diperkirakan rata-rata US$64,83 per barel, juga sedikit lebih tinggi dari estimasi September.

Menjelang pertemuan OPEC+ yang dijadwalkan pada Minggu, beberapa sumber mengindikasikan bahwa kelompok produsen minyak tersebut cenderung akan menambah produksi secara moderat pada Desember. Namun, John Kilduff berpendapat bahwa sebagian besar anggota OPEC+, selain Arab Saudi, tidak memiliki kapasitas tambahan yang berarti. “Tidak banyak yang bisa mereka tambahkan, kecuali dari Saudi,” ujarnya. Data Joint Organization Data Initiative (JODI) mencatat bahwa ekspor minyak mentah Saudi pada Agustus mencapai 6,407 juta barel per hari, tertinggi dalam enam bulan terakhir, menggarisbawahi peran krusial Saudi dalam pasokan minyak global.

Di sisi lain, laporan U.S. Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa produksi minyak AS mencapai rekor 13,6 juta barel per hari pada pekan lalu, menunjukkan peningkatan signifikan dalam stok minyak AS. Trump juga mengklaim bahwa China telah menyepakati pembelian energi besar-besaran dari AS, termasuk rencana akuisisi minyak dan gas dari Alaska. Meskipun demikian, sejumlah analis masih meragukan bahwa kesepakatan ini akan memiliki dampak substansial terhadap permintaan energi AS dari China, menambah ketidakpastian di pasar minyak dunia.

Ringkasan

Harga minyak dunia sempat naik pada akhir pekan lalu dipicu oleh rumor serangan Amerika Serikat ke Venezuela, namun kenaikan tersebut tertahan setelah dibantah oleh Presiden AS. Minyak mentah Brent naik tipis menjadi US$65,07 per barel, sementara WTI ditutup pada US$60,98 per barel. Pengerahan gugus tugas angkatan laut AS ke lepas pantai Venezuela semakin memanaskan situasi.

Penguatan dolar AS dan potensi penurunan harga jual minyak Saudi ke Asia turut memengaruhi pergerakan harga minyak. Aktivitas manufaktur China yang menyusut juga menambah tekanan. Survei memperkirakan harga minyak Brent dan WTI akan sedikit naik pada tahun 2025. Pertemuan OPEC+ menjadi perhatian, dengan ekspektasi penambahan produksi yang moderat dari kelompok tersebut, terutama dari Arab Saudi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *