Kementerian Perhubungan serius merancang kebijakan inovatif untuk mengatasi isu sampah penerbangan internasional, yakni dengan mengembalikannya ke negara asal. Langkah ini diharapkan dapat mencegah Indonesia menjadi penampungan limbah dari pesawat asing. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan, Sokhib Al Rohman, di Jakarta pada Kamis, 23 Oktober 2025. “Dengan demikian, kita tidak akan menerima sampah dari negara lain,” tegas Rohman.
Kebijakan ini terinspirasi dari praktik Jepang, yang telah sukses menerapkan sistem serupa. Rohman menjelaskan bahwa di Jepang, setelah pesawat mendarat, pramugara akan mengumpulkan seluruh sampah untuk kemudian dikirim kembali ke negara asalnya menggunakan pesawat kargo. “Kita seharusnya bisa mencontoh praktik tersebut, mengapa tidak?” imbuhnya. Rohman menekankan bahwa pengelolaan limbah di bandara saat ini membutuhkan biaya dan energi yang sangat besar. Tanpa penanganan yang tepat, ia memperingatkan bahwa bandara dapat berubah menjadi lokasi penimbunan sampah dan bahkan sumber pencemaran serius.
Sebagai gambaran, Rohman mencontohkan Bandara Soekarno-Hatta yang setiap harinya menghasilkan sekitar 85 juta paket sampah dari 85 ribu penumpang. Angka ini menunjukkan skala tantangan pengelolaan limbah yang krusial. Oleh karena itu, kebijakan pengembalian sampah penerbangan internasional dianggap sebagai langkah strategis dan pertimbangan penting dalam upaya komprehensif pengelolaan limbah bandara yang berkelanjutan.
Beranjak dari isu sampah fisik, Kementerian Perhubungan melalui Rohman juga menyoroti aspek lingkungan lain yang tak kalah krusial: emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas penerbangan. Rohman menargetkan bahwa pada tahun 2027, seluruh bandara, maskapai, dan industri penerbangan di Indonesia sudah harus mampu menghitung jejak emisi karbon mereka. Hingga saat ini, ia mengungkapkan, baru sekitar 10 bandara yang memiliki kapabilitas untuk melakukan penghitungan tersebut.
Data menunjukkan, lebih dari 234 ribu ton karbon dioksida (CO2) telah dihasilkan oleh industri penerbangan pada tahun ini. Penghitungan emisi karbon ini, menurut Rohman, sangat vital sebagai dasar bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang efektif untuk mengurangi produksi senyawa gas rumah kaca. Salah satu program konkret yang telah dijalankan untuk menekan emisi karbon penerbangan adalah modernisasi peralatan ground handling di bandara dengan beralih ke penggunaan kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Komitmen terhadap energi terbarukan juga terlihat dari laporan Rohman bahwa hingga Desember 2024, sebanyak 54 bandara telah mengadopsi panel surya untuk menyuplai daya bagi lampu LED. Inisiatif ini diperkirakan mampu menghemat energi sekitar 27 ribu ton. Lebih lanjut, 106 bandara dan tiga kantor otoritas bandara kini menggunakan sistem solar power lighting untuk penerangan, yang berhasil menekan penggunaan solar sebesar 1.991 ton energi.
Selain itu, 18 bandara telah sepenuhnya beralih menggunakan lampu LED, menandakan upaya berkelanjutan dalam efisiensi energi. Melalui serangkaian kebijakan dan program ini, Kementerian Perhubungan menunjukkan komitmen kuatnya terhadap transportasi udara berkelanjutan, baik melalui pengelolaan limbah bandara yang efektif maupun pengurangan emisi karbon penerbangan demi lingkungan yang lebih bersih.
Pilihan Editor: Pelita Air Debut Gunakan Bioavtur dari Minyak Jelantah Buatan Pertamina



