
mellydia.co.id, JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru-baru ini mengungkapkan dua persoalan krusial yang membayangi sistem dana pensiun di Indonesia, sekaligus menegaskan urgensi reformasi menyeluruh untuk menjamin masa depan finansial masyarakat.
Tantangan dana pensiun pertama terletak pada struktur aset program pensiun yang masih sangat didominasi oleh program bersifat wajib, khususnya untuk Jaminan Hari Tua (JHT). Direktur Pengembangan Dana Pensiun, Asuransi, dan Aktuaria Kemenkeu, Ihda Muktiyanto, dalam Indonesia Pension Fund Summit (IPFS) 2025 di Tangerang Selatan, Kamis (23/10/2025), menyebutkan bahwa pada tahun 2024, total aset program pensiun, baik wajib maupun sukarela, telah menembus angka lebih dari Rp1.500 triliun, atau setara 6,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Angka ini memang menunjukkan progres positif dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, Ihda menekankan bahwa Indonesia masih memiliki ruang yang sangat lebar untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain. Sebagai perbandingan, negara anggota OECD atau bahkan Malaysia, telah mencapai rasio aset dana pensiun di atas 60% dari PDB. Hal ini jelas mengindikasikan adanya tantangan signifikan dalam upaya meningkatkan skala dan kedalaman aset dana pensiun di Tanah Air.
Ihda melanjutkan, tantangan kedua adalah jangkauan kepesertaan dana pensiun di Indonesia yang masih jauh dari kata optimal. Dari total sekitar 144 juta angkatan kerja, hanya sekitar 23,6 juta individu yang tercatat sebagai peserta program pensiun wajib. Data ini mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja di Indonesia, khususnya di sektor informal dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), masih sangat rentan terhadap ketidakpastian finansial saat memasuki masa pensiun.
Menyikapi kedua tantangan tersebut, Ihda menegaskan bahwa Indonesia wajib memastikan pengelolaan aset dana pensiun berlangsung secara lebih produktif, transparan, dan mampu memberikan imbal hasil yang optimal. Di sisi lain, upaya serius juga perlu digencarkan untuk memperluas jangkauan program pensiun, sehingga lebih banyak pekerja, terutama di sektor informal dan UMKM, dapat menikmati perlindungan finansial yang layak di masa tua mereka.
Lebih jauh, permasalahan sistem dana pensiun tak berhenti pada dua hal itu. Bagi mereka yang telah menjadi peserta pun, terdapat fenomena penarikan dini JHT atau early withdrawal yang mengkhawatirkan. Data menunjukkan peningkatan klaim JHT yang konsisten setiap tahunnya. Sebagian besar klaim ini dilakukan oleh peserta yang masih berada di usia produktif, seringkali didorong oleh kebutuhan mendesak, namun tak jarang pula untuk keperluan konsumtif. Akibatnya, fungsi utama JHT sebagai penopang dan pelindung kebutuhan di masa tua menjadi sangat terbatas, menimbulkan kerentanan finansial di kemudian hari.
Ringkasan
Kementerian Keuangan menyoroti dua masalah utama dalam sistem dana pensiun Indonesia: aset yang masih minim dan cakupan kepesertaan yang rendah. Aset dana pensiun Indonesia baru mencapai 6,8% dari PDB, jauh tertinggal dibandingkan negara OECD dan Malaysia. Selain itu, dari 144 juta angkatan kerja, hanya sekitar 23,6 juta yang menjadi peserta program pensiun wajib, menunjukkan kerentanan finansial di masa pensiun bagi mayoritas pekerja, terutama di sektor informal dan UMKM.
Selain tantangan tersebut, penarikan dini Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi masalah krusial. Peningkatan klaim JHT oleh peserta usia produktif, seringkali untuk kebutuhan mendesak atau konsumtif, mengancam fungsi JHT sebagai penopang masa tua. Pemerintah menekankan perlunya pengelolaan aset dana pensiun yang lebih produktif dan upaya perluasan kepesertaan, terutama untuk pekerja sektor informal dan UMKM, guna menjamin perlindungan finansial yang layak di masa pensiun.



