Etilena Oksida Jadi Penyebab Kontroversi Indomie di Taiwan. Apa Itu?

Posted on

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akhirnya menanggapi temuan etilena oksida (EtO) dalam produk mi instan Indomie varian rasa Soto Banjar Limau Kuit di Taiwan. Kontroversi yang ramai diperbincangkan di media sosial ini membuat BPOM membenarkan bahwa mereka telah menerima informasi tersebut langsung dari pemerintah Taiwan mengenai produk keluaran PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (Indofood).

Dalam keterangan tertulis yang dirilis di laman resminya pada Sabtu, 13 September 2025, BPOM menyatakan, “BPOM telah menerima laporan dan penjelasan produsen bahwa produk yang ditemukan tidak memenuhi ketentuan di Taiwan.” Pernyataan ini sekaligus mengklarifikasi posisi produsen. Indofood, melalui penjelasannya kepada BPOM, menegaskan bahwa produk yang ditemukan di Taiwan tersebut bukanlah produk yang diekspor secara resmi oleh mereka.

Lebih lanjut, Indofood menduga bahwa ekspor produk tersebut dilakukan oleh trader, bukan importir resmi yang ditunjuk oleh produsen, dan proses ekspornya berlangsung tanpa sepengetahuan pihak Indofood. Saat ini, Indofood sedang aktif menelusuri bahan baku yang digunakan dalam produksi mi instan varian tersebut. “Hasil penelusuran akan dilaporkan segera kepada BPOM,” ucap lembaga pengawas tersebut. Mengenai hal ini, Tempo telah berupaya meminta konfirmasi dari Direktur Indofood Sukses Makmur, Fransiscus Welirang, namun hingga berita ini ditayangkan, belum ada respons.

Perbedaan standar keamanan pangan inilah yang menjadi akar permasalahan. BPOM menjelaskan bahwa temuan EtO ini muncul karena Taiwan memiliki regulasi ketat yang tidak mengizinkan keberadaan EtO dalam produk pangan. Standar ini kontras dengan beberapa negara lain, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Indonesia, yang memisahkan batasan syarat untuk EtO dengan 2-kloroetanol (2-CE) sebagai analitnya, bukan sebagai batasan EtO total. Hingga saat ini, Codex Alimentarius Commission, sebagai organisasi internasional di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), belum menetapkan batas maksimal residu EtO.

Dengan demikian, bagi masyarakat Indonesia, BPOM memberikan jaminan. “Berdasarkan hasil penelusuran pada data registrasi BPOM, produk dengan varian tersebut telah memiliki izin edar BPOM sehingga dapat beredar di Indonesia dan tetap dapat dikonsumsi,” tegas BPOM, menandakan bahwa produk Indomie Soto Banjar Limau Kuit aman untuk konsumsi di pasar domestik.

Apa Itu Etilena Oksida

Untuk memahami lebih jauh tentang etilena oksida atau EtO, Peneliti muda Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Iskandar Azmy Harahap, menjelaskan dalam artikelnya di The Conversation bahwa secara teknis, EtO digunakan sebagai sterilan untuk mencegah pertumbuhan bakteri salmonella, pemicu diare, selama proses penyimpanan dan pengiriman produk makanan. Setelah sterilisasi, produk harus menjalani aerasi atau didiamkan selama 24 jam untuk memastikan residu EtO yang mungkin tertinggal dapat hilang sepenuhnya.

Menurut Azmy, jika sirkulasi udara selama penyimpanan tidak optimal, ada potensi residu EtO tertinggal dalam produk. Residu ini, selanjutnya, dapat bereaksi dengan klorin yang secara alami terkandung dalam bahan makanan, membentuk senyawa non-volatile beracun lainnya, yaitu 2-CE (2-kloroetanol). Senyawa EtO dan 2-CE ini tidak ditemukan secara alami dalam produk makanan atau minuman. Kemungkinan keberadaan sisa EtO dan 2-CE dalam bumbu mi instan bisa berasal dari penggunaan bahan baku tertentu, seperti minyak nabati atau rempah-rempah, yang telah terkontaminasi selama proses produksi atau penyimpanan.

Meskipun memiliki fungsi sterilisasi, Azmy menegaskan bahwa penggunaan EtO justru membahayakan manusia dan dianggap sebagai ancaman serius bagi lingkungan. Sifatnya yang mudah terbakar, mutagenik (menyebabkan mutasi genetik), dan karsinogenik (pemicu kanker) menjadi perhatian utama. Walau dampak negatif dari sisa EtO dan senyawa turunannya (2-CE) terhadap kesehatan cukup jelas, perdebatan mengenai penggunaannya dan batas maksimalnya masih berlangsung di kalangan ilmuwan, terutama karena data mengenai 2-CE yang belum lengkap.

Rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarankan agar batasan EtO dijaga seminimal mungkin. Meskipun 2-CE berpotensi memiliki efek mutagenik, belum ada indikasi yang kuat bahwa 2-CE lebih berbahaya daripada EtO. Oleh karena kurangnya data mengenai potensi risiko keracunan, 2-CE harus diperlakukan dengan toksikologi yang sama dengan EtO. Namun, Azmy menambahkan, sebuah artikel di jurnal Food and Chemical Toxicology menyimpulkan bahwa, berdasarkan penilaian bukti karsinogenisitas dan data struktural yang relevan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa 2-CE dapat menyebabkan kanker. Selain itu, tidak ditemukan bukti genotoksisitas (kemampuan merusak materi genetik) untuk 2-CE dan senyawa serupa. Sebaliknya, EtO diketahui dapat merusak DNA secara langsung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *