Cremona, sebuah kota kecil yang tenang di Lembah Po, dulunya hanya dikenal sebagai tanah kelahiran maestro biola legendaris Antonio Stradivari. Namun, kini, kota ini mendadak menjadi sorotan utama para pencinta sepak bola dunia, berkat sebuah kejutan yang mengguncang panggung Serie A.
Klub promosi Cremonese baru saja melakukan pengumuman yang menghebohkan: mereka secara resmi memperkenalkan Jamie Vardy, striker Leicester City yang namanya abadi dalam sejarah Premier League. Perkenalan ini dikemas dengan sentuhan artistik yang khas, tak kalah dramatis dan memukau dari simfoni indah yang sering berkumandang di kota musik ini.
Pilihan lokasi perkenalan pun penuh makna, digelar di Museum Biola Piazza Guglielmo Marconi. Seolah-olah, panggung tersebut ingin menegaskan bahwa penyerang asal Inggris ini akan tampil sebagai “solois” baru, membawakan melodi kemenangan di kompetisi Serie A yang keras.
Langkah Cremonese ini benar-benar mengejutkan banyak pihak. Pada usia 38 tahun, Vardy tiba di Italia setelah menjalani karier panjang nan fenomenal bersama Leicester City, di mana ia menjadi aktor utama dalam kisah dongeng menjuarai Premier League 2015/2016 yang tak terlupakan.
Bagi para jurnalis lokal, kedatangannya nyaris mustahil. “Jika sebulan lalu seseorang bilang saya akan memperkenalkan Vardy hari ini, saya akan menganggapnya gila,” ujar Simone Giacchetta, Direktur Olahraga Cremonese, mengungkapkan rasa tidak percayanya.
Namun, di dunia sepak bola, ambisi sering kali mampu menjembatani jarak yang terkesan tak mungkin. Antusiasme warga Cremona atas kedatangan Vardy ini sungguh luar biasa. Setelah pengumuman resminya, penjualan tiket musiman dibuka kembali dan langsung ludes sebanyak 8.208 lembar, sebuah rekor fantastis bagi kota berpenduduk sekitar 70 ribu jiwa.
Bukan hanya tiket, jersey Cremonese untuk musim ini juga habis terjual dalam hitungan hari, menunjukkan betapa besar dampak instan kehadiran sang bintang.
“Pertama kali datang, saya mendengar Cremona kota sepi, tetapi ternyata kebalikannya,” ungkap Vardy, yang tampil dalam kemeja polo putih-abu bergaris merah khas klub. Ia menambahkan, “Saya sudah sempat naik ke Torrazzo dan menjelajahi pusat kota. Sepak bola punya bahasanya sendiri, jadi kendala bahasa bukan masalah.”
Julukan baru yang kini viral di media sosial, “StradiVardy“—gabungan nama Stradivari dan Vardy—langsung melekat padanya. Julukan ini tak hanya unik, tetapi juga mengingatkan publik pada legenda lain yang pernah berseragam Cremonese, yaitu Gianluca Vialli.
Ketertarikan Vardy pada proyek Cremonese berakar pada misi yang lugas dan ambisius: bertahan di Serie A. “Saya berbicara dengan Presiden Giovanni Arvedi dan pelatih Davide Nicola, target awal kami jelas, yakni bertahan di liga,” tegas Vardy.
“Tapi, setiap pertandingan kami akan memberikan 100 persen. Dalam sepak bola, siapa pun bisa mengalahkan siapa pun,” tambahnya, sebuah pernyataan yang begitu familiar, mengingatkan pada perjalanan epik Leicester delapan tahun lalu, ketika mereka mengubah keraguan menjadi gelar liga yang sensasional.
Usia yang mendekati 40 tahun tidak sedikit pun membuatnya gentar. Vardy dengan tegas menepis anggapan bahwa perekrutan ini hanyalah sebuah ‘gimmick’ pemasaran. “Usia hanyalah angka. Saya menjaga kondisi tubuh sepanjang liburan, dan merasa prima,” ucapnya sambil tersenyum menanggapi pertanyaan para jurnalis.
Bagi Vardy, keraguan publik justru menjadi bahan bakar motivasinya. Sementara itu, Cremonese sendiri telah memulai musim Serie A dengan impresif, meraih dua kemenangan, termasuk kemenangan tandang yang mengejutkan di markas AC Milan.
Efek Vardy tidak hanya terasa di lapangan, tetapi juga sangat jelas di keuangan klub. Kedatangan Vardy mungkin sama berharganya dengan sebuah biola Stradivari asli yang bisa terjual hingga lebih dari Rp 200 miliar. Penjualan merchandise melonjak drastis, melampaui total penjualan musim lalu hanya dalam beberapa hari, secara signifikan memperkuat posisi finansial tim yang baru promosi ini.
Kesempatan debut sang “StradiVardy” dijadwalkan ketika Cremonese melakoni laga tandang ke Verona pada Senin malam. Para tifosi berharap mentalitas “melawan segala rintangan” yang melekat pada Vardy—pemain yang tak pernah menyerah pada jalan hidupnya—dapat menular kepada seluruh tim.
Bagi Cremona, yang dulunya hanya dikenal lewat denting biola yang merdu, musim ini mungkin akan bergema lebih kencang lewat dentuman gol Vardy. Ini adalah sebuah simfoni kejutan yang sedang coba diorkestrasi, siap menghipnotis dunia sepak bola.