mellydia.co.id – Bank sentral Indonesia diproyeksikan akan menghentikan siklus pelonggaran kebijakan moneternya pada Rabu, 15 September 2025, berdasarkan hasil jajak pendapat terbaru dari Reuters. Keputusan ini datang di tengah tekanan signifikan pada pasar keuangan domestik dan gejolak eksternal.
Mengutip laporan Reuters, kepergian mendadak Sri Mulyani telah mengikis sebagian besar penguatan rupiah yang sempat terjadi pasca kesepakatan perdagangan Amerika Serikat pada pertengahan Juli. Kondisi ini mendorong Bank Indonesia untuk segera turun tangan demi menstabilkan pasar. Meskipun telah dilakukan intervensi agresif, nilai tukar rupiah tercatat masih melemah sekitar 1% sejak perjanjian perdagangan tersebut disepakati, menunjukkan betapa krusialnya tantangan yang dihadapi.
Tekanan mata uang yang kembali mencuat, diperparah dengan pemangkasan suku bunga acuan berturut-turut pada bulan Juli dan Agustus, diperkirakan akan menjadi penghalang bagi Bank Indonesia untuk kembali menurunkan biaya pinjaman. Ini terjadi meskipun ada ekspektasi kuat bahwa Federal Reserve AS juga akan melakukan pemangkasan suku bunga hanya beberapa jam setelah pengumuman BI.
Secara keseluruhan, 31 ekonom yang disurvei dalam jajak pendapat antara tanggal 9-15 September sepakat memperkirakan bahwa Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) di level 5,00% ketika pertemuan dua hari berakhir pada 17 September. Konsensus yang kuat ini mencerminkan pandangan pasar terhadap prioritas stabilitas.
Selain itu, suku bunga simpanan dan fasilitas pinjaman juga diperkirakan akan tetap stabil, masing-masing di level 4,25% dan 5,75%. Kondisi ini menunjukkan upaya BI untuk menjaga keseimbangan di tengah volatilitas pasar dan ekspektasi global.
Jika BI Rate Terus Dipangkas, BCA Berpeluang Sesuaikan Suku Bunga Pinjaman Korporasi
“Kepergian mendadak mantan menteri keuangan tersebut telah memicu kekhawatiran serius atas komitmen pemerintah terhadap disiplin fiskal, yang pada gilirannya melemahkan kepercayaan investor. Dengan rupiah yang kembali tertekan, prioritas Bank Indonesia kemungkinan besar akan beralih kembali ke stabilitas eksternal,” ungkap Krystal Tan, ekonom dari ANZ.
Dia menambahkan bahwa “perkembangan terkini semakin memperkuat seruan kami untuk jeda dalam kebijakan moneter.” Pernyataan ini menegaskan perlunya Bank Indonesia untuk menahan diri dari pelonggaran lebih lanjut.
Meskipun jeda kebijakan tampaknya sudah pasti, kekhawatiran baru muncul terkait independensi Bank Indonesia. Di bawah pengaturan ‘pembagian beban’ (burden sharing), bank sentral akan membantu program pemerintah dengan menaikkan suku bunga simpanan negara. Langkah ini, oleh beberapa ekonom, dianggap berpotensi mengikis otonomi moneter dan menimbulkan pertanyaan tentang netralitas kebijakan.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengumumkan paket stimulus fiskal sebesar Rp 16,23 triliun (setara dengan US$ 989,3 juta) untuk kuartal keempat tahun 2025. Angka ini menggarisbawahi dorongan signifikan dalam belanja pemerintah, yang menjadi konteks penting dalam diskusi mengenai ‘pembagian beban’.
Ketika ditanya mengenai risiko pengaruh politik terhadap kebijakan moneter Bank Indonesia, tujuh ekonom menyatakan mereka “agak khawatir,” satu orang “sangat khawatir,” dan dua orang lainnya “tidak khawatir.” Respon ini menunjukkan adanya spektrum kekhawatiran di kalangan para ahli.
Ini Arah Bunga Kredit Bank Mandiri Pasca Penurunan BI Rate
“Ide utama pembagian beban hanyalah untuk membantu pemerintah membiayai rencana belanja ambisiusnya yang terkait dengan janji-janji kampanye, namun dengan efek pengganda yang terbatas. Fase dominasi fiskal ini secara inheren menunjukkan potensi melemahnya independensi bank sentral,” ujar Kunal Kundu, ekonom di Societe Generale.
Kundu melanjutkan, “Tetapi sekali lagi, mengapa hanya menyalahkan Indonesia? Kita bisa melihat hal itu di banyak belahan dunia sekarang,” menunjukkan bahwa fenomena ini bukanlah hal yang eksklusif bagi Indonesia.
Sebuah jajak pendapat terpisah dari Reuters pada bulan Juli juga mengungkapkan bahwa lebih dari 70% ekonom, atau 36 dari 50 responden, menyatakan kekhawatiran mereka tentang independensi The Fed dari pengaruh politik, menegaskan tren global ini.
“Saat ini, saya bisa bilang saya agak khawatir tentang independensi Bank Indonesia,” kata Jason Tuvey, wakil kepala ekonom pasar berkembang di Capital Economics, menyoroti perhatiannya terhadap kondisi di Indonesia.
Tuvey menambahkan, “Saya akan jauh lebih khawatir jika kita secara eksplisit melihat seruan dari pejabat pemerintah untuk penurunan suku bunga, perubahan tak terduga pada kepemimpinan di bank sentral, atau kembalinya pembelian obligasi pemerintah di pasar primer,” menjelaskan kondisi yang akan memicu kekhawatiran lebih besar.
Tonton: BI Pangkas Suku Bunga, Yield SUN 10 Tahun Bisa Turun ke 6,20%
Terlepas dari berbagai kekhawatiran tersebut, para ekonom masih memproyeksikan bank sentral akan melonggarkan kebijakan moneternya lebih lanjut setelah stabilitas rupiah kembali pulih. Pandangan ini menunjukkan bahwa meskipun ada jeda, arah kebijakan jangka panjang tetap cenderung dovish.
Dari 25 ekonom yang memberikan pandangan tentang suku bunga di akhir tahun, 14 memperkirakan penurunan 25 basis poin menjadi 4,75%. Sementara itu, 10 ekonom mengantisipasi dua kali penurunan seperempat poin menjadi 4,50%, dan hanya satu yang memproyeksikan penurunan tajam sebesar 75 basis poin menjadi 4,25%.
“Risikonya masih condong ke arah penurunan suku bunga jika mata uang stabil dengan cepat. Bias kebijakan kemungkinan akan tetap dovish,” simpul Adam Ahmad Samdin, ekonom di Oxford Economics, menggarisbawahi prospek kebijakan Bank Indonesia ke depan.
Ringkasan
Berdasarkan jajak pendapat Reuters, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan menahan suku bunga acuan pada tanggal 17 September 2025 setelah sebelumnya melakukan pelonggaran kebijakan moneter. Keputusan ini dipicu oleh tekanan pada pasar keuangan domestik, kepergian Sri Mulyani yang melemahkan rupiah, dan pemangkasan suku bunga sebelumnya yang dilakukan BI. Meskipun ada ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh The Fed, BI diperkirakan akan memprioritaskan stabilitas eksternal.
Selain itu, muncul kekhawatiran terkait independensi BI terkait program ‘pembagian beban’ dengan pemerintah untuk membantu pembiayaan stimulus fiskal. Beberapa ekonom mengungkapkan kekhawatiran tentang potensi pengaruh politik terhadap kebijakan moneter BI, meskipun proyeksi jangka panjang masih menunjukkan kemungkinan pelonggaran kebijakan lebih lanjut setelah stabilitas rupiah pulih.