Timnas Indonesia: Obsesi Ball Possession, Penyakit Senior Menular ke U-23?

Posted on

mellydia.co.id Timnas U-23 Indonesia harus menelan pil pahit setelah dipastikan gagal melaju ke putaran final Kualifikasi Piala Asia U-23 2026. Kekalahan krusial dari Timnas U-23 Korea Selatan pada laga penentuan Grup J menjadi penentu nasib buruk skuad Garuda Muda.

Bermain di kandang sendiri, Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, pada Selasa (9/9/2025) malam WIB, Timnas U-23 Indonesia tak mampu membendung kekuatan lawan dan harus takluk tipis 0-1. Gol cepat Hwang Do-yoon di menit keenam pertandingan sudah cukup untuk mengakhiri mimpi Indonesia di ajang Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 tersebut.

Media Vietnam Sesalkan Timnas U-23 Indonesia Gagal Lolos Piala Asia U-23 2026

Ironisnya, kegagalan ini bukan hanya disebabkan oleh keunggulan lawan, melainkan juga “kutukan” dominasi penguasaan bola yang kerap menjadi bumerang bagi Timnas U-23 Indonesia. Meski mengontrol jalannya pertandingan dengan dominasi bola, skuad asuhan Gerald Vanenburg gagal menunjukkan ketajaman di lini depan, bahkan tidak mampu mencatatkan satu pun tembakan tepat sasaran ke gawang Korea Selatan.

Fenomena ini bukan hal baru. Sebelumnya, Timnas Indonesia senior pun mengalami “penyakit” serupa saat melakoni FIFA Matchday melawan Lebanon. Di bawah arahan Patrick Kluivert, tim Merah Putih tampil sangat dominan dengan 81 persen penguasaan bola, namun Miliano Jonathans dan kawan-kawan gagal menciptakan peluang berarti, bahkan nihil tembakan ke gawang lawan.

Tren negatif ini ternyata sudah menjadi pola yang meresahkan, bahkan terlihat sejak era kepelatihan sebelumnya. Dalam 10 pertandingan di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, Skuad Garuda menelan empat kekalahan. Menariknya, dua di antaranya terjadi saat Indonesia justru mengungguli lawan dalam hal penguasaan bola, di luar dua kekalahan dari Jepang yang memang perkasa.

Sebagai contoh, saat takluk 1-2 dari China pada Oktober 2024, Indonesia memegang kendali 76 persen penguasaan bola. Begitu pula ketika dibantai 1-5 oleh Australia di kandang lawan, skuad Merah Putih mencatatkan 60 persen penguasaan bola. Data ini semakin mempertegas bahwa dominasi bola tidak selalu berbanding lurus dengan hasil akhir yang positif bagi Indonesia.

Huni Peringkat 10 Klasemen Runner-up Terbaik, Timnas U-23 Indonesia Gagal Lanjutkan Kejayaan Era Shin Tae-yong

Paradoksnya, justru saat Timnas Indonesia kalah dalam penguasaan bola, mereka seringkali mampu meraih hasil yang lebih memuaskan. Tiga kemenangan penting di putaran ketiga kualifikasi sebelumnya bahkan tercipta ketika lawan lebih mendominasi bola.

Sebagai contoh, dalam kemenangan 2-0 atas Arab Saudi yang mengejutkan, Indonesia hanya mencatatkan 23 persen penguasaan bola. Begitu pula saat menaklukkan Bahrain dan China dengan skor identik 1-0, persentase penguasaan bola Indonesia hanya berada di angka 42 dan 47 persen. Hanya Jay Idzes dkk yang menelan kekalahan dengan persentase bola rendah adalah saat berjumpa Jepang, yang memang secara kualitas jauh di atas.

Kekalahan pahit dari Korea Selatan membuat Timnas U-23 Indonesia harus puas menempati posisi kedua di Grup J dengan raihan 4 poin. Sayangnya, perolehan poin ini tidak cukup untuk mengamankan satu dari empat tiket menuju putaran final melalui jalur empat runner-up terbaik. Indonesia hanya mampu bercokol di peringkat ke-10 klasemen runner-up terbaik, hanya unggul tipis dari Kuwait (Grup B).

Kegagalan ini terasa semakin perih mengingat pencapaian gemilang pada edisi sebelumnya. Di bawah asuhan pelatih Shin Tae-yong, Timnas U-23 Indonesia berhasil menembus babak semifinal, bahkan mengandaskan tim-tim kuat seperti Yordania, Australia, dan Korea Selatan sendiri. Kontrasnya performa ini menjadi sorotan tajam dan menimbulkan pertanyaan besar akan arah pengembangan sepak bola usia muda Indonesia.

Ringkasan

Timnas U-23 Indonesia gagal lolos ke putaran final Kualifikasi Piala Asia U-23 2026 setelah kalah dari Korea Selatan. Meskipun mendominasi penguasaan bola, Garuda Muda tidak mampu mencetak gol dan justru kebobolan. Kegagalan ini menyoroti masalah lama, yaitu dominasi penguasaan bola tanpa efektivitas dalam menciptakan peluang.

Timnas Indonesia senior juga mengalami hal serupa, di mana penguasaan bola tinggi tidak menjamin kemenangan. Ironisnya, beberapa kemenangan justru diraih saat tim Garuda kalah dalam penguasaan bola. Tren ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas strategi dan kebutuhan untuk menyeimbangkan penguasaan bola dengan kemampuan menciptakan dan memanfaatkan peluang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *