Skema Burden Sharing Saat Pademi Covid-19, Apa Bedanya dengan Sekarang?

Posted on

BANK Indonesia (BI) kembali menegaskan komitmennya untuk mendukung pembiayaan program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Langkah strategis ini diwujudkan melalui kelanjutan skema burden sharing atau pembagian beban bunga bersama Kementerian Keuangan. Dalam kerangka ini, BI telah mengambil inisiatif signifikan dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 200 triliun.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa peran bank sentral kini melampaui sekadar pengendalian suku bunga. Ini juga mencakup penguatan kebijakan moneter ekspansif, khususnya melalui instrumen pembelian SBN dari pasar sekunder. “Sejak kemarin BI telah membeli SBN sebesar Rp 200 triliun, termasuk untuk keperluan debt switching,” terang Perry dalam rapat kerja bersama Komite IV Dewan Perwakilan Daerah pada Selasa, 2 September 2025.

Dosen dan peneliti Universitas Islam Indonesia (UII), Listya Endang Artiani, menyoroti bahwa skema burden sharing bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kebijakan serupa pernah menjadi penyelamat di masa krisis saat pandemi Covid-19 melanda. “Kita punya pengalaman yang serupa tapi dengan konteks khas,” jelas Listya. Ketika pandemi mengguncang pada 2020, penerimaan negara merosot tajam sementara kebutuhan belanja untuk kesehatan, perlindungan sosial, dan penyelamatan UMKM melonjak drastis. Situasi ini mendorong defisit anggaran membengkak hingga lebih dari 6 persen PDB, sebuah angka yang hampir tak pernah terjadi sebelumnya.

Di tengah situasi darurat itulah lahir skema burden sharing yang luar biasa antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Kala itu, BI tidak hanya membeli SBN di pasar perdana, tetapi juga menanggung sebagian, bahkan seluruh bunga yang seharusnya dibayar oleh APBN. Menurut Listya Endang, mekanisme ini memungkinkan pemerintah mendapatkan dana segar untuk membiayai belanja krisis tanpa harus menambah beban bunga utang. Laporan Perekonomian Indonesia 2020 dari BI (2021) menegaskan bahwa kebijakan ini bersifat sementara, extraordinary, dan tidak dimaksudkan untuk permanen.

“Skema ini sering disebut sebagai salah satu inovasi fiskal-moneter paling berani sejak reformasi, menunjukkan bahwa koordinasi erat antara BI dan Kemenkeu bisa menjadi penyelamat di saat krisis, sekaligus memperlihatkan bagaimana ‘cetak uang’ dalam versi modern bisa dijalankan dengan syarat dan batas tertentu,” imbuh Listya, yang juga dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika UII, Yogyakarta.

Skema Burden Sharing BI–Kemenkeu (2020–2022)

Lebih lanjut, Listya Endang menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 bukan hanya krisis kesehatan, melainkan juga pukulan telak bagi jantung ekonomi Indonesia. Pada 2020, penerimaan negara ambruk akibat terhentinya aktivitas ekonomi: pajak menurun, penerimaan ekspor melemah, dan banyak perusahaan gulung tikar. Di sisi lain, pengeluaran negara justru melonjak drastis untuk tiga kebutuhan vital: penanganan kesehatan, perlindungan sosial, dan penyelamatan dunia usaha, terutama UMKM.

Akibatnya, defisit anggaran yang biasanya disiplin dijaga pada level 2–3 persen Produk Domestik Bruto (PDB), melonjak hingga lebih dari 6 persen PDB, angka yang hampir tidak pernah terjadi sejak reformasi fiskal 1998 (Kemenkeu, 2021). Pemerintah dihadapkan pada dilema krusial: bagaimana membiayai lonjakan belanja tanpa menenggelamkan APBN dalam beban utang yang berat? “Di sinilah lahir skema burden sharing—sebuah kebijakan kolaboratif yang sangat luar biasa antara BI dan Kemenkeu. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Indonesia, bank sentral tidak hanya menjadi penjaga stabilitas moneter, tetapi juga turun tangan langsung membiayai defisit fiskal pemerintah,” kata Listya Endang dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, pada Senin, 4 Agustus 2025.

Skema ini disebut burden sharing karena pada dasarnya membagi beban keuangan. Pemerintah menerbitkan SBN, instrumen utang yang biasa dipakai untuk menutup defisit. Biasanya, SBN ini dibeli oleh investor dengan imbalan bunga yang kemudian harus dibayar APBN. Namun, melalui skema burden sharing, BI ikut membeli sebagian SBN tersebut, bahkan menanggung sebagian atau seluruh beban bunga yang seharusnya ditanggung pemerintah.

Dengan mekanisme ini, menurut Listya Endang, APBN terbantu dua kali lipat: pemerintah memperoleh dana segar untuk membiayai program darurat, sekaligus tidak terbebani pembayaran bunga utang yang biasanya cukup besar. “Ruang fiskal pun bisa difokuskan pada kebutuhan yang mendesak: belanja kesehatan, bantuan sosial bagi masyarakat miskin, subsidi bunga kredit UMKM, hingga program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN),” kata pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Yogyakarta.

Data dari Kemenkeu menunjukkan, total kontribusi BI melalui skema ini pada periode 2020–2022 mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun, atau hampir 7 persen dari PDB Indonesia (Kemenkeu, 2022). Angka ini setara dengan hampir setengah dari total belanja negara untuk kesehatan dan perlindungan sosial selama pandemi. Tanpa skema ini, defisit anggaran bisa melonjak lebih tinggi, sementara beban bunga utang dalam APBN akan membengkak drastis. “Langkah ini bukan hanya teknis, tetapi juga politis, sebagai pilihan sulit tapi perlu untuk menyelamatkan perekonomian,” kata Listya. Ia menambahkan bahwa ini adalah wujud “kebijakan sinergi luar biasa” antara fiskal dan moneter—sesuatu yang belum pernah dilakukan sejak reformasi.

Meskipun demikian, penting untuk dicatat bahwa burden sharing tidak boleh menjadi kebijakan permanen, karena bisa merusak kredibilitas BI sebagai bank sentral yang independen. Ekonom terkemuka, Milton Friedman, sudah lama mengingatkan bahwa “tidak ada makan siang gratis” dalam kebijakan moneter: bantuan bank sentral memang meringankan beban jangka pendek, tetapi bisa menimbulkan inflasi dan risiko moral hazard di masa depan (Friedman, 1963).

Tidak mengherankan jika skema burden sharing ini disebut sebagai “eksperimen kebijakan terbesar” dalam sejarah moneter-fiskal Indonesia pasca-krisis 1998. “Ini menunjukkan bahwa dalam kondisi darurat, pagar antara fiskal dan moneter bisa dilonggarkan, asalkan ada komitmen kuat bahwa langkah ini bersifat sementara, extraordinary, dan tidak menjadi normal baru,” ujar Listya.

Pilihan Editor: Burden Sharing Bank Indonesia-Kemenkeu: Risiko Ekonomi, Politik, dan Kredibilitas BI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *