BI kirim sinyal buruk, sebut potensi krisis finansial 2008 terulang

Posted on

mellydia.co.id , JAKARTA — Bank Indonesia (BI) menyalakan sinyal kewaspadaan terhadap kerentanan pasar keuangan global menyusul perilaku agresif lembaga keuangan non-bank (Non-Bank Financial Intermediaries/NBFIs) yang agresif.

Pola ini mengingatkan pada pola pemicu krisis finansial global 2008 silam.

Dalam dokumen laporan Perkembangan Ekonomi Keuangan dan Kerja Sama Internasional (PEKKI) Edisi 2025, BI membeberkan lima risiko utama yang menghantui prospek ekonomi global ke depan. Salah satu yang menjadi sorotan utama yaitu kerentanan pasar keuangan akibat ulah institusi non-bank.

: Bank Indonesia: Kunci Akselerasi Ekonomi Sulawesi Selatan 2026 adalah Hilirisasi

BI memaparkan bagaimana NBFIs kini semakin berani memanfaatkan utang pemerintah negara maju sebagai aset dasar (underlying) untuk menciptakan produk derivatif yang kompleks. Masalahnya, praktik berisiko tinggi ini dilakukan tanpa pengaturan margin dan permodalan yang memadai.  

“Jika terjadi pembalikan pasar, potensi penjualan besar-besaran dapat memicu krisis sistemik seperti 2008,” tulis Bank Indonesia dalam laporannya, dikutip Selasa (9/12/2025).  

: : Catat! Ini Sektor Usaha yang Tumbuh Tinggi pada 2026 versi Bank Indonesia

Peringatan BI ini bukan tanpa dasar. Berdasarkan catatan BI, risiko dari NBFIs tersebut diperparah oleh kondisi utang publik global yang sudah mencapai level ‘lampu merah’.

Data menunjukkan total utang pemerintah dunia telah menembus angka US$110,9 triliun atau setara dengan 94,6% dari PDB global. Lonjakan utang yang didominasi negara maju ini menjadi bahan bakar bagi volatilitas suku bunga global, yang pada akhirnya menambah beban berat bagi negara berkembang.  

: : Pidato Lengkap Prabowo di Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2025

Hantu Aset Digital

Selain bayang-bayang krisis 2008 dari sektor NBFIs, BI juga mewanti-wanti soal risiko dari aset digital yang minim regulasi.

Maraknya aset kripto, stablecoin, dan tokenisasi aset oleh pihak swasta dinilai meningkatkan volatilitas pasar keuangan global secara signifikan. Absennya regulasi yang setara dengan lembaga keuangan tradisional membuka celah lebar bagi pencucian uang dan lemahnya perlindungan konsumen.  

Otoritas moneter juga melihat kecenderungan berlanjut perang dan polarisasi perdagangan akibat kebijakan tarif sepihak Amerika Serikat (AS), yang menggeser fokus dari kerja sama multilateral menjadi bilateral dan regional.

Kombinasi dari leverage NBFIs yang ugal-ugalan, gunungan utang publik, liarnya aset digital, hingga perang dagang ini terjadi di tengah proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang stagnan. BI memprakirakan ekonomi dunia pada 2026 akan melambat ke level 3,0%, lebih rendah dari estimasi 2025 sebesar 3,1%.  

Adapun, dalam laporan yang sama, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di rentang 4,9% sampai dengan 5,7% pada 2026. Sementara itu, inflasi diramal berada 2,5±1%, transaksi berjalan 0,2 sampai dengan -1% dari PDB, dan pertumbuhan kredit perbankan di rentang 8%—12%.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *