Kenapa Purbaya menunda penerapan cukai minuman berpemanis

Posted on

MENTERI Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) belum akan diberlakukan pada 2026. Dia mengungkapkan penundaan tersebut dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat.

Purbaya mengatakan cukai MBDK baru akan diterapkan bila ekonomi sudah membaik. “Saya pikir kalau ekonomi sudah tumbuh 6 persen lebih kami akan datang ke sini untuk mendiskusikan cukai seperti apa yang pantas diterapkan,” kata dia di Gedung DPR, Senin, 8 Desember 2025, dipantu dari siaran YouTube TV Parlemen.

Keputusan ini menuai pertanyaan dari Wakil Ketua Komisi XI Dolfie Othniel Frederic Palit dari fraksi PDI Perjuangan. Dolfie menyebutkan, target penerimaan dari cukai MBDK sudah ditetapkan sebesar Rp 7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026.

Menurut Dolfie, bila cukai MBDK batal diterapkan, maka APBN berpotensi defisit Rp 7 triliun. “Karena implikasinya Rp 7 triliun ada di belanja. Ketika penerimaan ini tidak tercapai, ditutup lagi oleh defisit Rp 7 triliun,” ujar Dolfie.

Merespons kritik tersebut, Purbaya mengatakan ketidakpastian pasti akan selalu ada. Namun, ia optimistis pemerintah bisa meningkatkan penerimaan, terutama dengan memberlakukan bea keluar emas dan batu bara yang ditargetkan menambah pendapatan negara sebesar Rp 23 triliun. Menurutnya, penerimaan dari bea keluar ini bisa menutup defisit dari penundaan cukai MBDK.

Pembahasan cukai MBDK sudah berlangsung sejak 2019. Target penerimaan negara bahkan sudah masuk dalam postur anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN sejak 2022. Namun implementasinya terus tertunda. Cukai MBDK sendiri sudah diterapkan di tujuh negara Asia Tenggara, yaitu Kamboja, Laos, Brunei, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Timor Leste.

Sebelumnya, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan cukai MBDK. CISDI menilai bahwa cukai MBDK sebaiknya tidak diperlakukan seperti pajak baru, melainkan sebagai instrumen fiskal berbasis kesehatan yang terbukti efektif dan telah diterapkan di 99 negara.

CISDI memperkirakan, keterlambatan penerapan cukai MBDK berpotensi menimbulkan 8,9 juta kasus baru diabetes tipe 2 dan 1,3 juta kematian akibat penyakit tersebut pada 2034. Quantitative Research Officer CISDI, Salsalbil Rifqi Qatrunnada, mengatakan bahwa kenaikan harga akibat cukai akan menurunkan permintaan produk MBDK dan membuat konsumen beralih ke air mineral serta minuman tidak berpemanis.

“Cukai MBDK tidak hanya menekan konsumsi melalui mekanisme harga, tetapi juga berfungsi mendelegitimasi MBDK sebagai produk sehari-hari yang merugikan kesehatan masyarakat,” ucap Salsabil dalam focus group discussion yang diadakan di Jakarta, Rabu, 10 September 2025. Salsabil menjelaskan, berdasarkan studi yang dilakukan CISDI, penerapan cukai yang meningkatkan harga produk sebesar 20 persen dapat menurunkan konsumsi MBDK hingga 18 persen secara rata-rata.

Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan Editor: Beban Baru Cukai Popok dan Tisu Basah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *